Waktu itu kelas 1 SMA, saya di kelas 1.2. Saya duduk di bangku nomor empat dari depan. Di depan saya, kalo nggak salah, ada Dhana, kadang juga saya panggil Dhani. Di samping kiri saja tentu saja Nelly yang cantik. Keturunan asli Batak tapi bermata sipit dan berkulit putih. Orang-orang pasti mengira dia memiliki darah Tionghoa. Heh? Tionghoa dari hongkong?! Di belakang saya adalah Agi Guntoro yang sering saya panggil Egi, dan Ade Irawan sang wakil ketua kelas.
Waktu itu adalah pelajaran Geografi. Salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang nggak saya sukai. Oke, saya sedikit suka Geografi kalo itu sudah menyangkut pengetahuan-pengetahuan umum tentang letak geografis negara-negara di dunia atau kebudayaan-kebudayaannya. Tapi saya paling nggak suka kalo itu udah tentang kependudukan dan unsur-unsur bebatuan, serta tentang bentuk permukaan bumi. Eeerrrggghhh. Ngantuk sekali.
Waktu itu Pak Saidi, guru geografi kelas satu, sedang 'mendongeng' tentang unsur-unsur tanah atau apalah itu. Batuan sedimen, batu apung, batu akik (ehe, yang belakangan enggak ya). Rasa kantuk mulai merambat mendekati mata. Tiba-tiba, cling! Saya baru inget, tadi pagi sebelum pelajaran dimulai saya sempet minjem majalah anak muda, An**a Ye**! edisi valentine milik Dian Mayasari, siswi kelas 1.4 yang dulu juga adalah temen sekelas saya selama 3 tahun di SMP. Cover majalahnya berwarna pink, dengan model yang tersenyum lebar, cantik dan cakep!
Entah kenapa saya merasa pede-pede saja untuk mengangkat majalah itu ke atas meja belajar. Mungkin karena ada tiga bangku di depan saya. Majalah saya taruh di atas meja, buku-buku saya tumpuk di bagian depan meja saya, lalu buku catatan di atas majalah, sesekali saya singkirkan demi kelancaran membaca majalah. Namun kalau saya merasa kurang aman, buku catatan langsung saya taruh menutupi majalah.
Di tengah penjelasan Pak Saidi tentang bebatuan itu, tiba-tiba Pak Saidi berjalan menuju sela-sela bangku, menuju ke arah saya. Buku catatan saya tutupkan di atas majalah. Karena buku catatan saya masih kurang besar, lalu saya tutupi juga pake beberapa buku yang saya tumpuk di meja bagian depan. Berdirilah Pak Saidi, persis di samping saya. Dada ini sudah bener-bener bergemuruh, teman! Saya membayangkan akan dicubit, dijewer, ditampar, atau disobek-sobek bajunya.
"Apa itu yang di bawah buku catatan?" Kurang lebih begitu kata-kata Pak Saidi.
Seisi kelas langsung lengang. Semua mata tertuju ke arah saya. Nelly diam, dia nggak mau ikut campur dengan tindak kenakalan saya. Padahal sebelumnya dia juga udah mengingatkan untuk menutup majalah sebelum ketauan.
Oh man, rasanya seperti baru saja ketauan membunuh! Serem sekali merasakan detik-detik saat Pak Saidi berdiri di samping kanan meja dan semua mata di kelas melihat ke arah saya. Karena saya tetep saja bungkam, Pak Saidi mengambil sendiri majalah yang ada di bawah buku catatan. Sesaat saya terpikir harus berurusan ke guru BP, mengambil majalah disana. Atau paling buruk, majalahnya nggak dikembalikan. Tapi yang terjadi adalah, Pak Saidi menyobek majalah menjadi dua! Lalu menjadi empat, lalu menjadi delapan, lalu menjadi lembaran-lembaran kecil yang berserakan di atas meja!
Ooh, hati saya juga terasa seperti dikoyak-koyak. Harus bilang apa ke Dian nanti?
Seiring dengan selesainya eksekusi terhadap majalah pinjaman edisi Valentine itu, bel tanda istirahat berbunyi. Sebelum meninggalkan saya yang tertunduk menyaksikan sobekan-sobekan majalah, Pak Saidi berkata, "Lapor ke BP!" Saya semakin tertunduk lemas. Nggak berani memandangi punggung Pak Saidi yang berjalan keluar meninggalkan kelas.
Menemui guru BP bukanlah kasus mudah. Kedua guru BP di SMA terkenal judes. Terlebih lagi, mereka kenal baik dengan keluarga saya. Salah satunya adalah Bu Siawati. Di luar sekolah saya biasa memanggil Bude Sia, suami Bude Sia adalah Pakde Giarto, temen deket Bapak. Anak-anaknya Bude Sia adalah Mbak Ria (satu SMP dengan saya, tapi setahun lebih tua), Mbak Aar (satu SMP juga, tapi setahun lebih muda), dan Mas Ivan (partner in crime-nya Dek Bryan). Sementara guru BP yang satu lagi adalah Bu Sri Mahyuni. Yang rumahnya nggak jauh dari rumah saya. Lebih baik saya pergi manjat pohon kelapa daripada harus menemui kedua guru BP tersebut.
Namun saya harus kesana. Keberanian untuk memasuki ruang BP baru muncul sehari setelah kejadian di kelas geografi. Setelah diberi dukungan moral dan spiritual dari ketiga temen deket saya, Nelly, Rica, dan Santy. Saya ketok deh pintu ruang BP.
Ternyata hanya ada Bu Sri Mahyuni. "Kenapa Sep?" begitu sambutnya. Saya hanya membalas dengan nyengir kuda. Bu Sri sepertinya sedang menuliskan sesuatu di buku catatannya, lalu saya duduk di kursi rotan di depan mejanya. Lagi-lagi saya diam.
Sepertinya Bu Sri udah tau perihal tindak kejahatan saya kemarin. Melihat saya yang diam saja, Bu Sri menutup catatannya pelan-pelan, lalu bilang kurang lebih begini, "Ya sudah, besok-besok jangan baca majalah waktu guru mengajar di kelas." Saya lalu disuruh kembali lagi ke kelas. Aaaaah. Lutut saya terasa lemas sewaktu mau berdiri dari kursi rotan itu.
Setelah bilang terima kasih dan membungkukkan badan, saya keluar ruangan BP dengan hati yang lega. Rasanya dunia menjadi cerah seperti sedia kala. Saya kira saya harus membawa surat teguran untuk orang tua di rumah. Tapi ternyata tidak. Oooh bahagianya.
Selanjutnya yang harus saya lakukan adalah meminta maaf kepada pemilik majalah, membeli majalah edisi yang sama sebagai ganti, lalu bisa tertawa-tawa di kantin kembali.
Ehm, saya nggak tau kapan Bapak Ibu mendengar perihal tindak kejahatan saya ini. Suatu malem, saya sekeluarga berkunjung ke rumahnya Bude Sia. Itu adalah kali pertama saya berkunjung ke rumahnya setelah tragedi majalah valentine. Kikuk. Saya nempel-nempel terus di belakang Ibu, padahal biasanya saya asyik aja maen sama Mbak Ria dan Mbak Aar. Saya was-was kalau saja Bude Sia bakal membongkar kejahatan saya kepada Ibu Bapak saat saya nggak disana. Tapi ternyata, Ibu Bapak, Bude Sia, dan Pakde Giarto malah membahas masalah itu sambil ketawa-ketawa di depan saya! Ngeledek saya! Ohmaigad! Rasanya pengen menghilang langsung ke kamar Mbak Ria dan Mbak Aar..
Tahun berapa tuh koq masih ada majalah An**a Ye**!
ReplyDeleteWhakakakak....dulu aku pinjam ke teman cewek ku di kelas pas istirahat hanya baca cerpen nya aja. Sama majalah A**ta dan K*w***ku
2002 atau 2003 itu Mas.. wah emang sekarang majalahnya udah nggak ada? Dulu terakhir kali beli, edisi tahun baru, tahun 2010 awal kayaknya.. Dapet posternya Lee Min Ho gede banget sama rekan2 mainnya di Boys Before Flowers.. Kekekekek..
ReplyDelete