Wednesday, April 11, 2012

Tentang Rasa Ikhlash

Sulit ya, mengukur sejauh mana seseorang betul-betul ikhlas. Seperti rasa sabar yang seringkali menimbulkan perdebatan, apakah sabar ada batasnya? Menurut saya, jika ada seseorang yang bilang "udah lewat batas kesabaran", saya rasa orang yang mengatakan belum betul-betul sabar. Sabar itu nggak ada batasnya (menurut saya loh ya). Balik lagi ke rasa ikhlas. Mungkin bagi sebagian orang, rasanya berat sekali 'mengikhlaskan' suatu keinginan yang ingin mereka capai, demi sebuah keharusan atau kepentingan bersama. Atau seperti misalnya jika kita sedang dihadapkan pada beberapa pilihan yang sama-sama penting, lalu kita harus meninggalkan salah satunya (atau salah duanya :D ). Pengennya, ada beberapa hal di dunia ini yang nggak harus dipilih. Ada beberapa hal yang --kalo bisa-- bisa berjalan beriringan tanpa harus melewati sebuah 'pemilihan'. Tapi inilah hidup sodara-sodara, dengan segala permasalahan dan konsekuensinya! Fiuh.

Ikhlas itu mungkin seperti Bapak, yang saat seusia saya dulu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya bersama Pakwo Bukwo, merelakan cita-citanya dulu yang besar. Beberapa waktu yang lalu saat bertemu, Bapak bercerita panjang tentang saat-saat dimana Bapak harus memilih. Bapak dengan cita-citanya, dan keinginan Pakwo Bukwo yang ingin bisa terus dekat dengan anak satu-satunya. Waktu itu adalah pertama kalinya saya melihat Bapak bercerita sambil berkali-kali menyeka matanya, yang membuat saya berpikir, mungkin untuk menjadi ikhlas itu nggak gampang.

Atau mungkin ikhlas itu seperti Ibu, yang memutuskan untuk menjalani kehidupan baru bersama Bapak di tempat baru yang jauh dari keluarganya. Minggu lalu, di beberapa malam saat saya tidur di samping Ibu, saya bertanya bagaimana rasanya tinggal jauh dari keluarga di tempat baru dimana tak ada satupun keluarga Ibu disana. Lalu Ibu bercerita tentang perjuangan meyakinkan keluarga Ibu dulu (Mbah Putri dan Mbah Kakung sekeluarga besar), bagaimana Ibu beradaptasi di lingkungan baru, usahanya menarik hati keluarga barunya, juga tentang beberapa perselisihan yang pernah timbul dengan keluarga barunya (bukan berniat untuk menjelek-jelekkan, namun lebih sebagai bahan pelajaran). Ibu begitu sabar, juga ikhlas.

Mungkin untuk menjadi ikhlas itu butuh proses, butuh waktu, dan butuh keyakinan untuk dapat 'move-on' meninggalkan sesuatu yang pernah begitu diinginkan. Don't be too sad, don't be too gloomy! Remember that the best players will give everything they have to stand up again!

Monday, April 9, 2012

Surat Ketiga - Beberapa Hal yang Sulit Diungkapkan

Dear DSR,


Terima kasih telah berniat baik melanjutkan silaturahmi kita setelah pertemuan pertama yang singkat beberapa waktu yang lalu. Saya tau kamu berniat tulus, berniat baik, dan kamu datang dengan bermacam-macam nasehat dan solusi yang jarang sekali saya dapat dari teman-teman bahkan keluarga saya sendiri. Saya menyukaimu. Saya sangat menghargaimu dengan segala kedewasaan, pengetahuan, kejujuran, ketulusan, kebaikan, perhatian dan rasa sayangmu, semuanya. Saya menyayangimu. Betapa bahagianya saya yang telah mendapatkan sebagian dari waktumu yang berharga. Kamu pasti berusaha keras meluangkan waktu di sela-sela kerja, kuliah, dan kehidupan pribadimu.


DSR, ada banyak sekali hal-hal yang butuh keberanian dan pemikiran ekstra bagi saya untuk mengungkapkan. Kamu pasti merasa sulit sekali memahami jalan pikiran saya. Saya juga, saya masih sering bertanya-tanya sendiri, sebenarnya rasa apa ini yang seringkali hinggap di dalam pikiran-pikiran saya. Seperti rasa cemburu yang saya temui sedikit berbeda dengan kecemburuan yang sudah-sudah. Saya sedang belajar mengendalikannya. Sesungguhnya saya malu dengan perasaan ini. Saya malu jika kamu tau bahwa saya cemburu pada hal-hal kecil yang semestinya tidak dicemburui. Itu yang terkadang membuat saya ingin mengatakan sesuatu namun lalu mengurungkannya. Saya malu, namun entah kenapa hal-hal kecil itu selalu saja mengusik. Tapi kamu perlu tau, rasa cemburu pada beberapa hal kecil, yang saya tau kamu hanya berniat menggoda saja, terasa cepat berlalu. Saya tidak ambil pusing pada hal-hal itu. Hanya saja, terkadang saya cemburu pada hal-hal kecil yang saya kira betulan. Seperti rasa cemburu mengetahui kamu --menurut pemikiran saya-- masih saja mengingat hal-hal kecil yang berhubungan dengan sesuatu yang --lagilagi menurut saya-- pernah memiliki kenangan indah buatmu. Sesuatu yang teramat berkesan. Lalu saya malu untuk mengonfirmasikan kebenaran kecemburuan saya tersebut kepadamu. Sehingga seringkali saya hanya menyimpannya sendiri dan berusaha untuk melupakannya. Saya cemburu pada kenyataan bahwa kamu pernah lebih lama bersama kenangan-kenangan yang sangat berkesan itu, dan hanya sedikit sekali kenangan-kenangan yang bisa kamu ingat dari perkenalan dengan saya sampai saat ini.


Rasa cemburu kepada hal-hal kecil itu seperti mengingatkan saya kembali pada suatu kejadian, dimana saya merasa bahwa kamu sedang ada di posisi yang berat untuk memilih, yang rasanya seperti ada semacam penyesalan yang tersembunyi di dalam dirimu. Pada saat itu saya berpikir, saya harus memberikan support buatmu, juga menenangkanmu. Namun entah kenapa juga ada suatu rasa bersalah karena saya telah 'menghalangi' dua buah hati sekaligus. Dada ini terasa begitu sesak, seperti sulit bernapas. Perasaan bersalah yang sulit sekali dijelaskan. Juga sulit hilang, terlebih lagi jika saya ingat kamu pernah terdengar begitu rapuh dan menyesal. Saya cemburu karena dia pernah membuatmu berada dalam situasi seperti itu.


Tentang segala rasa bersalah yang mungkin menurutmu tidak perlu, saya meminta maaf atas segala salah kata dan perbuatan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, baik secara langsung maupun tak langsung. Saya betul-betul meminta maaf kepadamu, juga kepadanya. Mungkin dengan begini rasa bersalah itu segera pergi. Lalu tentang perasaan cemburu, saya meminta maaf dan saya sedang berusaha untuk menyederhanakannya. Dan saya sedang belajar untuk lebih baik.


Sincerely yours.