Wednesday, September 14, 2011

Imunisasi

Pemberian anti-cacar, anti-TBC, anti-hepatitis, anti-polio, dan lainnya adalah salah satu program pemerintah dalam rangka mengurangi risiko balita atau dewasa terkena berbagai macam penyakit. Ehe, imunisasi namanya. Saya nggak tau secara detil, kapan waktu yang tepat untuk imunisasi. Hihihi. Maklum, saya belum pernah mengurusi balita, atau belum memiliki pengetahuan yang baik waktu dulu pernah menemani Ibu ke posyandu untuk mengimunisasi Dek Bryan. Seinget saya, sampai kurang lebih kelas 2 atau 3 sekolah dasar, saya masih dapet imunisasi.

Waktu itu kelas 1 SD. Saya masih inget, pertama kali masuk sekolah sepatu saya berwarna merah cerah. Lalu Bu Katin, guru kelas 1 SD, menghampiri saya sewaktu istirahat. Dengan nada keibuan, Bu Katin memberi tahu, kalau ke sekolah saya sebaiknya memakai sepatu berwarna hitam. Bukan apa-apa, waktu itu Ibu saya memakaikan sepatu berwarna merah karena sepatu-sepatu sekolah yang berwarna hitam nggak ada satupun yang pas di kaki saya. Saya terlalu mungil!

Di usia yang belum cukup lima tahun saya sudah menginjak bangku sekolah dasar lho. Itu karena saya nggak mau masuk TK. Kata Ibu, dulu saya ngotot pengen masuk SD karena TK menurut saya adalah sekolah buat anak-anak yang kerjaannya cuman menyanyi dan menggambar! Ebuset. Mungkin saya dulu pengen sekolah yang langsung bisa merakit bom kali yak. Alhasil, kelas satu sekolah dasar sebenernya saya sekedar dititipkan, betah syukur, nggak betah ya udah. Eh, ternyata dapet rapor, lalu ikut naik ke kelas dua. Alhamdulillah yah, sesuatu sekali.

Kelas satu SD, pertama kalinya mendapatkan imunisasi selama di bangku sekolah. Salah satu temen saya, perempuan, namanya Vandu Irawati. Panggilannya Pandu. Saat kami satu persatu menunggu dipanggil untuk diimunisasi, Pandu udah kelihatan 'bingsal'. Nggak mau diam. Mukanya kelihatan seperti mau nangis dan pengen pulang. Namun semua siswa berada di bawah pandangan Bu Katin yang berbadan gede, jadi nggak bakalan bisa kabur deh. Hehehe.

Tiba giliran Pandu. Eh, dia lari! Beneran lari sambil menangis, nggak mau diimunisasi. Padahal cuman ditetesin cairan doang ke dalem mulut looh! Belakangan saya malah ketagihan. Hihihi. Pandu kecil lari-lari ke kelas sebelah yang kosong (saya lupa kenapa kelas sebelah kosong), bersembunyi di bawah meja sambil terisak-isak. Saat Bu Katin mendatangi dan membujuk Pandu untuk diimunisasi, Pandu tetep memegangi kaki meja, bener-bener nggak mau.

Beberapa menit dibujuk, akhirnya Pandu mau diimunisasi. Horeee. Setelah diimunisasi, saya, Pandu, dan temen-temen lainnya bermain rumah-rumahan di koridor kelas bersama. Seolah-olah tragedi menangis di bawah kolong meja nggak pernah terjadi.

Pandu oh Pandu..

Selain inget sekelumit cerita masa kecil dulu tentang imunisasi, ada beberapa potongan-potongan cerita tentang Pandu yang saya inget.

Kelas empat SD. Waktu itu saya dan beberapa temen sedang bermain di rumahnya Pandu. Ada pohon rambutan yang lumayan rimbun di depan rumahnya. Enak deh, main rumah-rumahan di bawah pohon rambutan yang waktu itu sedang berbuah. Pandu emang terkenal gemar memanjat pohon. Ehe, jangan disamakan sama temen kalian yang hobi bergelantung ria itu ya. Waktu itu dia asyik memanjat pohon, sementara saya dan temen-temen lain tetep di bawah. Beberapa ranting emang nggak terlalu kokoh. Meskipun kami udah beberapa kali mengingatkan Pandu untuk tidak terlalu jauh mengambil rambutan, dia masih saja memanjat, hingga ke ujung-ujung ranting pohon. Kasian Pandu, akibat bertumpu pada ranting yang nggak terlalu kokoh, dia terjatuh dari ketinggian sekitar 4-5 meter. Posisi jatuhnya mengakibatkan persendian di tangan kanannya bergeser. Tulang tangan di sekitar bawah siku juga retak.

Untuk beberapa bulan lamanya, Pandu bersekolah dengan tangan kanan yang digendong, lalu diperban, lalu lama kelamaan dibuka. Terlihat biru lebam ketika dibuka. Tangan kanan dan kirinya nggak terlihat sama. Daerah sekitar siku kanan terlihat lebih membengkak, dan hanya bisa digerakkan pelan-pelan. Selama tidak bisa menggunakan tangan kanan, Pandu tetep berusaha menulis. Dia belajar menulis dengan tangan kiri. Dia juga tetep ceria seperti Pandu biasanya.

Kelas lima SD adalah saat dimana kami mulai diajarkan untuk menabung. Guru kelas lima mengkoordinir para siswa dalam membuatkan buku yang pura-puranya jadi buku tabungan. Uang yang disetorkan ke guru kelas dicatat di 'buku tabungan' kami, lalu setelah dikumpulkan, guru kelas mendepositokan sendiri uang para siswa ke bank. Saya dulu juga rutin menabung. Nggak gede tentunya. Uang saku saya di kelas lima waktu itu adalah lima ratus rupiah perhari. Waktu itu harga pisang goreng masih 25 atau 50 rupiah (lupa). Kalau tiba waktu menabung, biasanya setiap dua hari sekali, Ibu akan memberi saya uang seribu rupiah. Lima ratus untuk ditabung, lima ratus lagi buat jajan, tetep. Hehehe. Tapi sebagai anak yang rajin dan berbakti kepada orang tua, terkadang saya mengumpulkan sisa uang jajan harian saya untuk ditabungkan juga.

Jujur, dulu saya sering ciut tiap kali lihat buku tabungannya Pandu. Gimana enggak, uang yang ditabungkan Pandu setiap kali menabung setara dengan uang yang saya tabungkan selama sepuluh kali menabung! Nggak tanggung-tanggung, dia menyetor sekitar lima ribu rupiah tiap kali menabung. Ngiler deh. Nggak heran, di akhir tahun ajaran, Pandulah juaranya! Dia memiliki tabungan terbanyak dibandingkan siswa-siswi lainnya di kelas. Selamat yaaaa.

6 tahun di SD sekelas sama Pandu. SMP dan SMA nggak satu sekolah. Lalu kini udah jarang mendengar kabarnya. Miss you much, Ndu..

Ps: Abis dibaca ulang, judulnya kayaknya kurang pantes ya. Hihihi.

2 comments:

  1. Wuah, dulu wktu ane kls 2 jg msh imunasi loh jeung, sm itu yg d suntik di lengan. waktu tau pak mantri n bu suster dtg lgsg pd ketakutan, ada tmn ane nmnya Ari tp g tw kenapa pnggilanny Sanan lgsg mggat plg (pdhl dy cowok) hahaha

    ReplyDelete
  2. wah pasti Ari temen ente itu setipe sama Ari yang kita kenal jeung.. cowo, tapi gimanaaaa gitu.. gegegege..

    iya, inget juga waktu disuntik di lengan.. ane dulu 'sok' kuat waktu disuntik.. nggak nangis, padahal beberapa temen banyak yang mewek.. lalu bagian lengan yang kena suntik ditutup pake kapas beralkohol.. kapasnya itu ane pegangin terus pake jari tangan satunya, sambil berjalan pulang.. pas udah hampir masuk rumah (tapi masih di luar), kira-kira 20 langkah sebelum masuk rumah, ane noleh ke lengan yang disuntik, eh, berdarah! padahal dikit, tapi ane sontak menjerit-jerit.. tetangga ane kan jadi geger.. hahaha.. untung waktu itu Ibu ada di rumah, lalu berlari keluar saat mendengar ane jerit-jerit di luar rumah.. hahaha.. setelah itu badan ane jadi lebih hangat.. mungkin karena antibodi mulai bekerja melawan virus2 yang dilemahkan itu.. tapi setelah itu ane Alhamdulillah sehat wal'afiat.. kekekekek..

    ReplyDelete