Monday, November 12, 2012

I Haven't Done That Much

Selalu ada kepuasan tiada tara setelah kita bisa melakukan yang terbaik. Right? Seperti ketika berhasil menyelesaikan lima rangkap skripsi hard cover setelah melalui rangkaian perjuangan sejak awal pengajuan judul. Walaupun jika sekarang ditilik lagi, dari titik pandang yang mungkin lebih tinggi daripada bagaimana saya memandang skripsi saya pada saat hard cover selesai dijilid, skripsi saya masih banyak sekali kekurangan, rasa puas ketika jilid tebalnya selesai selalu mengingatkan saya bahwa pada waktu itu saya telah berusaha semaksimal yang saya bisa.

Lalu bagaimana jika selalu tidak pernah ada rasa puas? Apa ini bagus atau buruk? Apakah ini indikasi bahwa kita belum melakukan yang terbaik? Seperti ketika membuka folder 'Thesis Preparation' di dalam laptop merah saya, bagian analisisnya selalu saja kurang memuaskan. Saya sadar banyak yang harus dibenahi. Saya merasa saya belum mengerahkan effort yang terbaik saat menyelesaikan tesis sebaik saya menyelesaikan skripsi dulu. 

Selalu ingin sesuatu yang lebih lebih baik. Emmm, tapi cape' nggak sih, ketika kita berpikir bahwa yang kita lakukan mungkin tidak akan berkesudahan, karena di saat kita telah berusaha lebih baik, selalu muncul keinginan untuk lebih baik lagi.

Keinginan saya untuk mengakhiri tesis saya sebaik mungkin begitu besar, namun tidak didukung dengan upaya optimal untuk mewujudkannya. Hmmppffhh. Luckily, I have graduated and I have had my master degree.

Wednesday, October 24, 2012

A Journey

23 to 23

Semuanya pasti karena rencana-Mu
Semuanya berjalan sesuai skenario-Mu

Mengapa Engkau mempertemukanku dengannya?
Jika supaya aku merasakan bahagia, mengapa ada begitu banyak luka
Jika supaya aku belajar untuk menjadi dewasa, mengapa aku justru menemukan sisi childish-ku selama bersamanya
Jika supaya aku menjadi lebih baik, mengapa ada kalanya aku menjadi tak lebih baik
Jika supaya aku jadi lebih berani dan tak mudah menyerah, mengapa pada akhirnya tak ada yang bisa aku genggam walaupun tlah penuh peluh dan darah

Friday, October 19, 2012

Untitled

Seperti ketika matahari berada di ubun-ubun kepala,
dan kita sedang berlari menuju sebuah genangan air,
yang entah mengapa semakin jauh.

Thursday, September 20, 2012

Kembali ke Jogja

Pertama kali kembali ke Jogja sendiri, dan kali ini naik Lion Air. Benar-benar berangkat flight kedua dari SMB II, menuju Adi Sucipto, trans Soekarno-Hatta. Penggalan dari puisi yang dulu saya buat tahun 2004. Kebetulan ya.

Dari kaca jendela seat nomor 2F, saya leluasa memandang keluar. Tanpa terhalang pemandangan sayap pesawat. Siang itu awan putih tebal di langit Jakarta. Sering terbersit keinginan untuk lompat dan bermain-main di awan yang terlihat begitu lembut memikat. Ah, dari atas sini semua terlihat begitu indah.

Dan tibalah saya di Jogja. Tanah kelahiran Ibunda tercinta, rumah para saudara, kota dengan keramah-tamahannya, kota dengan kampus-kampus ternama, kota budaya dengan para seniman jalanannya. 

Dan saya ingin kembali lagi kesana.

-unfinished yet-

Wednesday, August 15, 2012

This may be the Last Letter

Dear DSR yang selama hampir delapan bulan ini selalu memberi saya semangat..

Iya, delapan bulan. Waktu yang cukup lama bukan? Cukup banyak hal-hal manis pahit yang pernah kita lalui bersama. Ada kalanya kita tertawa bahagia, bercanda, menyanyikan lagu-lagu rindu, bercerita hal sehari-hari, bertemu melepas rindu, berdiskusi serius, menangis, sedih, marah, saling diam tak mau duluan menyapa, bersujud dan memohon dalam doa.. Iya, kamu yang namanya selalu saya sebut dalam doa..

Harus saya sampaikan, saya hanya merasa selama ini saya bersikap terlalu kekanak-kanakan. Melampaui batas. Dan seperti saya bilang, semestinya tidak begitu. Mestinya saya tidak lagi terusik dengan hal-hal yang sebenarnya memang tidak mengusik, setelah selama ini saya mengenalmu. Iya, seharusnya saya mengenalmu dengan baik. Maka saya yakinkan diri saya, bahwa sikap kekanak-kanakan ini harus diperbaiki. Dan untuk itu, saya perlu waktu. Dan saya tau kamu mungkin tidak punya banyak waktu.

Selamat menyusun dan melanjutkan mimpi-mimpimu, DSR! Berjuang meneruskan niatanmu selama ini. Semoga segera terhimpun pasukan yang percaya, tidak mudah menyerah, mendengarkan dan siap melaksanakan seruan-seruanmu.

Bukan, saya bilang ini bukanlah suatu intermezzo. Ini adalah bagian dari proses pendewasaan, yang juga merupakan bagian utama dalam kehidupan. Terima kasih telah mengajarkan banyak hal.

Sincerely yours, and.. see you again someday..



-sambil ndengerin Westlife yang belum sempat kita nyanyikan-

So I say a little prayer
And hope my dreams will take me there
Where the skies are blue, to see you once again..

Wednesday, April 11, 2012

Tentang Rasa Ikhlash

Sulit ya, mengukur sejauh mana seseorang betul-betul ikhlas. Seperti rasa sabar yang seringkali menimbulkan perdebatan, apakah sabar ada batasnya? Menurut saya, jika ada seseorang yang bilang "udah lewat batas kesabaran", saya rasa orang yang mengatakan belum betul-betul sabar. Sabar itu nggak ada batasnya (menurut saya loh ya). Balik lagi ke rasa ikhlas. Mungkin bagi sebagian orang, rasanya berat sekali 'mengikhlaskan' suatu keinginan yang ingin mereka capai, demi sebuah keharusan atau kepentingan bersama. Atau seperti misalnya jika kita sedang dihadapkan pada beberapa pilihan yang sama-sama penting, lalu kita harus meninggalkan salah satunya (atau salah duanya :D ). Pengennya, ada beberapa hal di dunia ini yang nggak harus dipilih. Ada beberapa hal yang --kalo bisa-- bisa berjalan beriringan tanpa harus melewati sebuah 'pemilihan'. Tapi inilah hidup sodara-sodara, dengan segala permasalahan dan konsekuensinya! Fiuh.

Ikhlas itu mungkin seperti Bapak, yang saat seusia saya dulu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya bersama Pakwo Bukwo, merelakan cita-citanya dulu yang besar. Beberapa waktu yang lalu saat bertemu, Bapak bercerita panjang tentang saat-saat dimana Bapak harus memilih. Bapak dengan cita-citanya, dan keinginan Pakwo Bukwo yang ingin bisa terus dekat dengan anak satu-satunya. Waktu itu adalah pertama kalinya saya melihat Bapak bercerita sambil berkali-kali menyeka matanya, yang membuat saya berpikir, mungkin untuk menjadi ikhlas itu nggak gampang.

Atau mungkin ikhlas itu seperti Ibu, yang memutuskan untuk menjalani kehidupan baru bersama Bapak di tempat baru yang jauh dari keluarganya. Minggu lalu, di beberapa malam saat saya tidur di samping Ibu, saya bertanya bagaimana rasanya tinggal jauh dari keluarga di tempat baru dimana tak ada satupun keluarga Ibu disana. Lalu Ibu bercerita tentang perjuangan meyakinkan keluarga Ibu dulu (Mbah Putri dan Mbah Kakung sekeluarga besar), bagaimana Ibu beradaptasi di lingkungan baru, usahanya menarik hati keluarga barunya, juga tentang beberapa perselisihan yang pernah timbul dengan keluarga barunya (bukan berniat untuk menjelek-jelekkan, namun lebih sebagai bahan pelajaran). Ibu begitu sabar, juga ikhlas.

Mungkin untuk menjadi ikhlas itu butuh proses, butuh waktu, dan butuh keyakinan untuk dapat 'move-on' meninggalkan sesuatu yang pernah begitu diinginkan. Don't be too sad, don't be too gloomy! Remember that the best players will give everything they have to stand up again!

Monday, April 9, 2012

Surat Ketiga - Beberapa Hal yang Sulit Diungkapkan

Dear DSR,


Terima kasih telah berniat baik melanjutkan silaturahmi kita setelah pertemuan pertama yang singkat beberapa waktu yang lalu. Saya tau kamu berniat tulus, berniat baik, dan kamu datang dengan bermacam-macam nasehat dan solusi yang jarang sekali saya dapat dari teman-teman bahkan keluarga saya sendiri. Saya menyukaimu. Saya sangat menghargaimu dengan segala kedewasaan, pengetahuan, kejujuran, ketulusan, kebaikan, perhatian dan rasa sayangmu, semuanya. Saya menyayangimu. Betapa bahagianya saya yang telah mendapatkan sebagian dari waktumu yang berharga. Kamu pasti berusaha keras meluangkan waktu di sela-sela kerja, kuliah, dan kehidupan pribadimu.


DSR, ada banyak sekali hal-hal yang butuh keberanian dan pemikiran ekstra bagi saya untuk mengungkapkan. Kamu pasti merasa sulit sekali memahami jalan pikiran saya. Saya juga, saya masih sering bertanya-tanya sendiri, sebenarnya rasa apa ini yang seringkali hinggap di dalam pikiran-pikiran saya. Seperti rasa cemburu yang saya temui sedikit berbeda dengan kecemburuan yang sudah-sudah. Saya sedang belajar mengendalikannya. Sesungguhnya saya malu dengan perasaan ini. Saya malu jika kamu tau bahwa saya cemburu pada hal-hal kecil yang semestinya tidak dicemburui. Itu yang terkadang membuat saya ingin mengatakan sesuatu namun lalu mengurungkannya. Saya malu, namun entah kenapa hal-hal kecil itu selalu saja mengusik. Tapi kamu perlu tau, rasa cemburu pada beberapa hal kecil, yang saya tau kamu hanya berniat menggoda saja, terasa cepat berlalu. Saya tidak ambil pusing pada hal-hal itu. Hanya saja, terkadang saya cemburu pada hal-hal kecil yang saya kira betulan. Seperti rasa cemburu mengetahui kamu --menurut pemikiran saya-- masih saja mengingat hal-hal kecil yang berhubungan dengan sesuatu yang --lagilagi menurut saya-- pernah memiliki kenangan indah buatmu. Sesuatu yang teramat berkesan. Lalu saya malu untuk mengonfirmasikan kebenaran kecemburuan saya tersebut kepadamu. Sehingga seringkali saya hanya menyimpannya sendiri dan berusaha untuk melupakannya. Saya cemburu pada kenyataan bahwa kamu pernah lebih lama bersama kenangan-kenangan yang sangat berkesan itu, dan hanya sedikit sekali kenangan-kenangan yang bisa kamu ingat dari perkenalan dengan saya sampai saat ini.


Rasa cemburu kepada hal-hal kecil itu seperti mengingatkan saya kembali pada suatu kejadian, dimana saya merasa bahwa kamu sedang ada di posisi yang berat untuk memilih, yang rasanya seperti ada semacam penyesalan yang tersembunyi di dalam dirimu. Pada saat itu saya berpikir, saya harus memberikan support buatmu, juga menenangkanmu. Namun entah kenapa juga ada suatu rasa bersalah karena saya telah 'menghalangi' dua buah hati sekaligus. Dada ini terasa begitu sesak, seperti sulit bernapas. Perasaan bersalah yang sulit sekali dijelaskan. Juga sulit hilang, terlebih lagi jika saya ingat kamu pernah terdengar begitu rapuh dan menyesal. Saya cemburu karena dia pernah membuatmu berada dalam situasi seperti itu.


Tentang segala rasa bersalah yang mungkin menurutmu tidak perlu, saya meminta maaf atas segala salah kata dan perbuatan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, baik secara langsung maupun tak langsung. Saya betul-betul meminta maaf kepadamu, juga kepadanya. Mungkin dengan begini rasa bersalah itu segera pergi. Lalu tentang perasaan cemburu, saya meminta maaf dan saya sedang berusaha untuk menyederhanakannya. Dan saya sedang belajar untuk lebih baik.


Sincerely yours.

Friday, March 30, 2012

Happy Graduation!

Ngga terasa ya, dulu, tepat di hari pendidikan nasional, 2 Mei 2010, saya berkenalan dengan 14, eh 13 --sebab saya sudah kenal salah satunya sebelumnya--, temen baru dari provinsi yang berbeda-beda. Berlimabelas kami belajar bersama di dalam satu kelas. Lalu di semester kedua dan ketiga, kami harus dibagi menjadi dua grup, satu grup beranggotakan 8 orang menempuh studi ke NL, sementara 7 lainnya tetap meneruskan di ID. Lalu tiba-tiba, minggu lalu, 22 Maret 2012, ketujuh teman-teman saya yang tetap melanjutkan studi di ID diwisuda! Dengan menyandang gelar dengan pujian semua! *minderdotcom*

Selamat! Selamat! Selamat!

Akhir dari masa belajar kalian adalah awal dari kehidupan kalian yang sebenarnya. Selamat menempuh hidup baru teman! Semoga kalian dapat mengabdikan dan mengembangkan ilmu yang telah kalian peroleh selama ini sehingga lebih bermanfaat! Selamat kembali bertugas!

Wednesday, March 21, 2012

Surat Kedua - Perkenalan yang Tidak Biasa

Dear DSR,

Waktu itu siang hari, saat saya membuka akun di Yahoo! Messenger yang sudah beberapa hari tidak dibuka. Sedikit penasaran juga, setelah mendengar bahwa seorang temen SMA dulu telah menyusun sebuah perkenalan dengan seorang rekan kerja suaminya. Seorang pria yang menurut dia humoris, pinter, baik, serta menyenangkan. Sedikit grogi juga sebenernya. Saya bingung harus menuliskan apa di chat bar nanti. Was-was jika apa yang saya tulis tidak cukup bisa membuat senang orang yang menyenangkan, atau nanti saya tidak cukup pandai merangkai humor-humor ringan namun tetap terkesan 'pintar'.

Dan betul saja, saya menemukan sebuah kontak baru yang menambahkan saya sebagai teman. Yap, kamu.

Masih saja saya ingat, waktu itu saya betul-betul berusaha membuat suasana chatting cukup menyenangkan. Lalu terkadang saya berpikir, akankah chatting terasa terus menyenangkan seperti ini? Karena terkadang saya menemukan diri saya berlaku sangat menyenangkan di awal, lalu perlahan menarik diri dan menjauh. Perasaan itu saya tepis jauh-jauh.

DSR, entah mulai kapan saya merasa ingin selalu menyapamu saat chatting. Saya mulai mencari-cari jika kamu tak kunjung sign in, atau kamu tak segera membalas chat yang saya kirim.

Kamu terasa begitu jauh dan seperti-imajiner. Benarkah kamu ada di suatu tempat disana? Kapankah kita bertemu, saling melihat, bersalaman, dan bertegur sapa?

Sincerely yours.

Sunday, March 18, 2012

Surat Pertama - Pertemuan Pertama

Dear DSR,
kapan kita berjumpa lagi?

Bulan berganti. Tak terasa sudah hampir dua bulan kita tidak berjumpa. Masihkah kamu ingat, bagaimana wajah letih saya saat pertama kali kita bertemu? Saya ingat betul, tentang rasa tak percaya diri dan segala pikiran yang berkecamuk di dalam diri saya selama 14 jam di perjalanan itu. Kala itu saya tak henti menghitung mundur waktu berjumpa denganmu. Bukan, rasa itu bukan rasa rindu kepada ibu pertiwi yang sudah hampir satu tahun saya tinggalkan yang terasa dominan. Itu betul-betul rasa rindu --yang aneh, sebab sebelumnya kita belum pernah bertemu-- padamu. Saya nyaris tidak bisa pulas memejamkan mata.

Saya ingat betul, waktu itu kamu berdiri sambil menggenggam segulung surat kabar dan sebotol air mineral, mengenakan sebuah jaket coklat, tas samping hitam, kemeja putih bergaris, celana dan sepatu hitam. Apakah kamu sudah cukup lama menunggu?

Perasaan bahagia, canggung, ingin berbicara dan mengingat wajahmu lebih lama, serta ingin membuat lebih banyak kenangan saat bertemu denganmu, semua itu bertaburan di atas kepala saya. Saya beberapa kali mengumpat, mengapa mesti hari Jumat? Semestinya kita bisa berjumpa dua jam lebih lama. Ah, waktu.

Dear DSR. Saat terberat dalam pertemuan itu adalah saat saya harus melepas jabat tanganmu. Waktu itu saya berpikir, akankah kita berjumpa lagi dalam suatu pertemuan yang lebih menyenangkan. Akankah kita dapat bercakap-cakap lagi, membicarakan beberapa topik menarik. Akankah jalinan silaturahmi kita berlanjut lebih baik. Waktu itu saya juga berpikir, jikapun semuanya tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya harapkan, saya begitu bahagia pernah mengenal dan bertemu denganmu.

Terima kasih telah membuat semuanya menjadi lebih indah.

Sincerely yours.

Thursday, March 15, 2012

Love is Hard

Berkali-kali saya merasa begitu ingin tahu beberapa hal yang sedang kamu pikirkan. Seperti mengapa tiba-tiba kamu menanyakan tentang hal-hal yang bisa membuat saya marah, bagaimana saya menilai kamu, apakah saya merasa cukup 'bahagia' dengan kondisi kamu-dan-saya sekarang, sampai-sampai beberapa kalimat yang kamu ucapkan, seperti 'semoga semuanya ada jalannya', atau 'semoga doa yang akan menjawab semuanya'. Atau juga permintaan maaf atas kesalahan-kesalahan yang kamu perbuat (padahal saya merasa kamu tidak melakukan kesalahan apapun).

Saya yakin kamu juga pasti merasa bahwa kita sedang berjuang melewati jalan yang tidak biasa, yang juga sedikit sulit. Membuat saya semakin ingin tahu, apakah ini terlalu berat buatmu?

(Diiringi dengan iringan lagu Love is Hard by James Morrison)

Sunday, March 4, 2012

The Decision-Maker is Me

Seringkali saya memutuskan sesuatu sendiri berdasarkan apa yang saya lihat dan saya dengar. Semua informasi tersebut lalu terproses di dalam pikiran saya -seringkali didominasi perasaan-, lalu saya mulai brainstorming dengan brain capacity yang ala kadarnya.

Saya mulai berlebihan dalam ber-conjecture ria. Mencari-cari beberapa hipotesis yang mungkin berdasarkan informasi-informasi yang saya terima. Lalu menguji kembali hipotesis tersebut -tetap dengan brain capacity yang ala kadarnya- serta mencari beberapa follow-up (solusi?) yang mungkin dari tiap-tiap hipotesis. Jangan dikira memiliki pola pikir complicated seperti saya -yang mungkin kamu lihat seperti terlalu detail- itu enak. Oke, saya mungkin sudah memiliki solusi dari beberapa kejadian yang belum terjadi, hingga nanti jika beberapa kejadian tersebut betul-betul terjadi, saya sudah 'agak siap' karena telah memikirkannya. Namun tahukah kamu, membayangkan hal-hal yang belum terjadi seperti seolah-olah akan terjadi itu seperti berjalan dengan mata tertutup di medan yang dirahasiakan tanpa alas kaki. Saat kamu merasakan sesuatu yang basah dan berpasir, mungkin kamu mengira kamu tengah berjalan di pinggir pantai dan hendak mengarah ke laut yang dalam. Padahal mungkin saja kamu tengah menyeberang sebuah sungai kecil dangkal yang mengarah ke sebuah taman indah. Kamu akan ragu melangkah, lalu tak jarang berbalik, memilih tetap aman berada di posisi semula dan tidak melanjutkan perjalanan.

Tahukah kamu, beberapa hal yang tidak seperti biasa, meskipun itu sedikit, sebenarnya tak pernah luput dari pemikiran saya. Misalnya, kamu yang biasanya selalu tidur siang lalu tiba-tiba tidak tidur siang. Kamu yang biasanya tidak suka makan pedas lalu tiba-tiba makan pedas. Hal-hal kecil yang mungkin tidak kamu sadari seringkali telah membuat saya berpikir berkali-kali. Oke, saya juga sempat memikirkan bahwa sesekali hidup perlu pembaruan. Selama itu tidak merugikan dan cenderung meningkatkan kualitas diri, saya mencoba berpikir bahwa hal itu memang bukan apa-apa, bukan suatu masalah yang berarti. Namun tak jarang hal-hal kecil yang mungkin tidak kamu sadari tersebut berkecamuk di dalam pikiran saya, berlarut-larut, lalu menjadi besar di pikiran saya.

Jika ada sesuatu yang 'salah' dalam dirimu, seringkali saya mengintrospeksi diri saya sendiri. Memikirkan apa yang telah saya perbuat, apa yang semestinya telah saya perbuat (lampau), dan apa yang semestinya akan saya perbuat (future). Saya jauh dari menyalahkanmu. Namun terkadang saya terlalu ingin tahu atas apa yang sedang menimpamu. Terkadang saya mencoba menahan diri untuk tidak terlalu ingin tahu. Terkadang saya ingin tidak berpikir terlalu jauh dan just let it go. Terkadang saya -lagilagi- terlalu berpikir dan ujung-ujungnya kembali menyalahkan diri saya sendiri.

Semestinya saya tidak terlalu memikirkan hal ini, tidak perlu juga mengeposnya disini.

Semangat dan Kerja Keras

Kamu mengingatkanku dengan dua hal itu, yang -jujur- beberapa minggu ini saya lupakan. Bukan, sesungguhnya bukan sejak beberapa minggu belakangan. Lebih bahkan.

Ingat dulu. Semangat dan kerja keras itu tinggi terpatri dalam setiap langkah yang sedang dan akan saya lalui. Seperti bagaimana saya harus belajar keras di kelas tiga SMA, menyesuaikan kemampuan akademik dengan teman-teman satu kelas, dimana saya pada saat itu adalah seorang siswi baru dari sekolah 'kampung' yang ketinggalan pelajaran. Setiap jam 7 malam, tanpa dikomando ibu bapak, saya yang pada saat itu sudah mulai indekos selalu mendisiplinkan diri untuk siap di meja belajar, sampai jam 10 malam. Siangnya saya mengikuti kegiatan les di sekolah, lalu sorenya les di luar sekolah. Tujuan utama saya waktu itu adalah bisa menjadi mahasiswa kedokteran.

Semangat dan kerja keras tetap terpupuk walaupun saat itu saya tidak berhasil menjadi mahasiswa kedokteran. Menjadi professional dan mampu mengabdikan diri kepada masyarakat bukan hanya dapat dilakukan seorang dokter, bukan? Saat itulah dulu saya mencoba membuat peta hidup baru. Mencoba menggali lebih dalam bidang yang saya kuasai. Menyusun mimpi sedikit demi sedikit. Membuat rencana prior untuk beberapa tahun ke depan sekaligus mempersiapkan back-up plans selanjutnya. Lalu berusaha seoptimal mungkin meraih mimpi-mimpi itu.

Optimistis. Dulu saya punya itu. Entah sejak kapan kata itu seperti tak mau dekat-dekat saya lagi. Saya sadar, di bidang yang tengah saya tekuni sekarang pun saya memiliki banyak kekurangan. Dengan semangat dan kerja keras, saya dulu menjaga keoptimisan yang bergulir di kehidupan saya. Namun entah mengapa, dalam beberapa hal sekarang saya melupakan yang dua itu, sedikit pesimistis dengan rencana-rencana yang semula sudah pernah saya susun rapi dan ingin saya capai. Semua itu terasa bertentangan dengan rencana-rencana baru yang juga ingin saya wujudkan. Beberapa kali kata tanya semacam mungkinkah, apakah dan bagaimana telah menahan langkah saya. Mungkinkah rencana-rencana dulu dapat saya raih? Bagaimana jika tidak? Bagaimana meraihnya? Apakah saya benar-benar ingin meraih rencana-rencana baru itu? Mungkinkah rencana-rencana lama dan baru dapat berjalan selaras? Apakah yang harus saya prioritaskan? Bagaimana jika semua prioritas? Apakah rencana-rencana baru yang terkesan 'diburu-buru' dapat berjalan lancar?

Jika kedua rencana lama dan rencana baru begitu bertentangan, semangat dan kerja keras terasa seperti mempermudah salah satu, namun mempersulit satunya. Mungkinkah saya meraih semuanya dengan semangat dan kerja keras yang lebih bersemangat dan lebih keras?

Thursday, January 19, 2012

2012 Wishes

Hai 2012. Akhirnya kamu dateng juga, kamu nggak ingkar janji.

Dengan datengnya tahun ini, kepulangan ke Indonesia semakin di depan mata. Terhitung tanggal ini, semuanya tinggal 7 hari. Shall I be happy, or unhappy? Hmm, happy dong ya (sedikit sedih juga sebenernya lho).

Kali ini saya cuman mau ngepost sebuah puisi. Setelah sekian lama nggak bikin puisi. Mudah-mudahan puisi saya masih layak baca, nggak bikin para pembaca mual dan pusing setelah selesei membaca puisi yang asli bikinan saya di kala galau ini. Galau? Hari gini? Entahlah.

Judulnya belom ada. Tau dong, dari dulu saya bermasalah dengan judul. Baiklah, mari kita baca puisi yang tak berjudul ini.


kala hati ini tak mampu berjalan maju.
aku bersujud kepada-Mu.


Ya Tuhanku yang teramat menyayangiku.
Engkaulah Sang Maha Penata
yang selalu memberikan ruang bagiku yang penuh ketidakteraturan.
yang selalu mengulurkan tangan dalam usahaku menyusun impian dari sedikit kekuatan yang tak pernah lengkap.
aku bersyukur kepada-Mu.


Ya Tuhanku yang teramat baik,
Engkau Maha Mengetahui segala pertayaan di dalam pikiranku.
berikan satu alasan saja, mengapa Kau pasangkan hati yang rawan rapuh ini kepadaku.
jika Engkau telah mengetahui bahwa aku tak cukup pintar untuk memilih jalan mana yang harus dilalui.
mungkin Engau mengira aku tak pernah bersyukur, 
sebab aku selalu saja mengeluh ketika Engkau memaksaku berpikir dengan hatiku yang tak cerdas ini.
sungguh, atas ketidakmampuan inipun aku tetap bersyukur kepada-Mu.


Ya Tuhanku yang Maha Melihat,
mengapa Engkau menghadapkanku pada lukisan taman bunga indah.
yang besar dan terlihat nyaman.
namun jauh.
seperti melihat dua benda yang paralel bertemu di satu titik di depan sana.
semakin kudekati, semakin titik itu bergerak mundur teratur.
aku tak kuasa mengejar.
aku tak tahu bagaimana mengejar.


18 Jan 2012.


Bagaimana? Saya terdengar putus asa? Saya terdengar menyerah? Saya terdengar sedang merasa tak pantas untuk mendapatkan sesuatu? Hmpfh. Entahlah.

See you soon, Indonesia!