Friday, March 30, 2012

Happy Graduation!

Ngga terasa ya, dulu, tepat di hari pendidikan nasional, 2 Mei 2010, saya berkenalan dengan 14, eh 13 --sebab saya sudah kenal salah satunya sebelumnya--, temen baru dari provinsi yang berbeda-beda. Berlimabelas kami belajar bersama di dalam satu kelas. Lalu di semester kedua dan ketiga, kami harus dibagi menjadi dua grup, satu grup beranggotakan 8 orang menempuh studi ke NL, sementara 7 lainnya tetap meneruskan di ID. Lalu tiba-tiba, minggu lalu, 22 Maret 2012, ketujuh teman-teman saya yang tetap melanjutkan studi di ID diwisuda! Dengan menyandang gelar dengan pujian semua! *minderdotcom*

Selamat! Selamat! Selamat!

Akhir dari masa belajar kalian adalah awal dari kehidupan kalian yang sebenarnya. Selamat menempuh hidup baru teman! Semoga kalian dapat mengabdikan dan mengembangkan ilmu yang telah kalian peroleh selama ini sehingga lebih bermanfaat! Selamat kembali bertugas!

Wednesday, March 21, 2012

Surat Kedua - Perkenalan yang Tidak Biasa

Dear DSR,

Waktu itu siang hari, saat saya membuka akun di Yahoo! Messenger yang sudah beberapa hari tidak dibuka. Sedikit penasaran juga, setelah mendengar bahwa seorang temen SMA dulu telah menyusun sebuah perkenalan dengan seorang rekan kerja suaminya. Seorang pria yang menurut dia humoris, pinter, baik, serta menyenangkan. Sedikit grogi juga sebenernya. Saya bingung harus menuliskan apa di chat bar nanti. Was-was jika apa yang saya tulis tidak cukup bisa membuat senang orang yang menyenangkan, atau nanti saya tidak cukup pandai merangkai humor-humor ringan namun tetap terkesan 'pintar'.

Dan betul saja, saya menemukan sebuah kontak baru yang menambahkan saya sebagai teman. Yap, kamu.

Masih saja saya ingat, waktu itu saya betul-betul berusaha membuat suasana chatting cukup menyenangkan. Lalu terkadang saya berpikir, akankah chatting terasa terus menyenangkan seperti ini? Karena terkadang saya menemukan diri saya berlaku sangat menyenangkan di awal, lalu perlahan menarik diri dan menjauh. Perasaan itu saya tepis jauh-jauh.

DSR, entah mulai kapan saya merasa ingin selalu menyapamu saat chatting. Saya mulai mencari-cari jika kamu tak kunjung sign in, atau kamu tak segera membalas chat yang saya kirim.

Kamu terasa begitu jauh dan seperti-imajiner. Benarkah kamu ada di suatu tempat disana? Kapankah kita bertemu, saling melihat, bersalaman, dan bertegur sapa?

Sincerely yours.

Sunday, March 18, 2012

Surat Pertama - Pertemuan Pertama

Dear DSR,
kapan kita berjumpa lagi?

Bulan berganti. Tak terasa sudah hampir dua bulan kita tidak berjumpa. Masihkah kamu ingat, bagaimana wajah letih saya saat pertama kali kita bertemu? Saya ingat betul, tentang rasa tak percaya diri dan segala pikiran yang berkecamuk di dalam diri saya selama 14 jam di perjalanan itu. Kala itu saya tak henti menghitung mundur waktu berjumpa denganmu. Bukan, rasa itu bukan rasa rindu kepada ibu pertiwi yang sudah hampir satu tahun saya tinggalkan yang terasa dominan. Itu betul-betul rasa rindu --yang aneh, sebab sebelumnya kita belum pernah bertemu-- padamu. Saya nyaris tidak bisa pulas memejamkan mata.

Saya ingat betul, waktu itu kamu berdiri sambil menggenggam segulung surat kabar dan sebotol air mineral, mengenakan sebuah jaket coklat, tas samping hitam, kemeja putih bergaris, celana dan sepatu hitam. Apakah kamu sudah cukup lama menunggu?

Perasaan bahagia, canggung, ingin berbicara dan mengingat wajahmu lebih lama, serta ingin membuat lebih banyak kenangan saat bertemu denganmu, semua itu bertaburan di atas kepala saya. Saya beberapa kali mengumpat, mengapa mesti hari Jumat? Semestinya kita bisa berjumpa dua jam lebih lama. Ah, waktu.

Dear DSR. Saat terberat dalam pertemuan itu adalah saat saya harus melepas jabat tanganmu. Waktu itu saya berpikir, akankah kita berjumpa lagi dalam suatu pertemuan yang lebih menyenangkan. Akankah kita dapat bercakap-cakap lagi, membicarakan beberapa topik menarik. Akankah jalinan silaturahmi kita berlanjut lebih baik. Waktu itu saya juga berpikir, jikapun semuanya tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya harapkan, saya begitu bahagia pernah mengenal dan bertemu denganmu.

Terima kasih telah membuat semuanya menjadi lebih indah.

Sincerely yours.

Thursday, March 15, 2012

Love is Hard

Berkali-kali saya merasa begitu ingin tahu beberapa hal yang sedang kamu pikirkan. Seperti mengapa tiba-tiba kamu menanyakan tentang hal-hal yang bisa membuat saya marah, bagaimana saya menilai kamu, apakah saya merasa cukup 'bahagia' dengan kondisi kamu-dan-saya sekarang, sampai-sampai beberapa kalimat yang kamu ucapkan, seperti 'semoga semuanya ada jalannya', atau 'semoga doa yang akan menjawab semuanya'. Atau juga permintaan maaf atas kesalahan-kesalahan yang kamu perbuat (padahal saya merasa kamu tidak melakukan kesalahan apapun).

Saya yakin kamu juga pasti merasa bahwa kita sedang berjuang melewati jalan yang tidak biasa, yang juga sedikit sulit. Membuat saya semakin ingin tahu, apakah ini terlalu berat buatmu?

(Diiringi dengan iringan lagu Love is Hard by James Morrison)

Sunday, March 4, 2012

The Decision-Maker is Me

Seringkali saya memutuskan sesuatu sendiri berdasarkan apa yang saya lihat dan saya dengar. Semua informasi tersebut lalu terproses di dalam pikiran saya -seringkali didominasi perasaan-, lalu saya mulai brainstorming dengan brain capacity yang ala kadarnya.

Saya mulai berlebihan dalam ber-conjecture ria. Mencari-cari beberapa hipotesis yang mungkin berdasarkan informasi-informasi yang saya terima. Lalu menguji kembali hipotesis tersebut -tetap dengan brain capacity yang ala kadarnya- serta mencari beberapa follow-up (solusi?) yang mungkin dari tiap-tiap hipotesis. Jangan dikira memiliki pola pikir complicated seperti saya -yang mungkin kamu lihat seperti terlalu detail- itu enak. Oke, saya mungkin sudah memiliki solusi dari beberapa kejadian yang belum terjadi, hingga nanti jika beberapa kejadian tersebut betul-betul terjadi, saya sudah 'agak siap' karena telah memikirkannya. Namun tahukah kamu, membayangkan hal-hal yang belum terjadi seperti seolah-olah akan terjadi itu seperti berjalan dengan mata tertutup di medan yang dirahasiakan tanpa alas kaki. Saat kamu merasakan sesuatu yang basah dan berpasir, mungkin kamu mengira kamu tengah berjalan di pinggir pantai dan hendak mengarah ke laut yang dalam. Padahal mungkin saja kamu tengah menyeberang sebuah sungai kecil dangkal yang mengarah ke sebuah taman indah. Kamu akan ragu melangkah, lalu tak jarang berbalik, memilih tetap aman berada di posisi semula dan tidak melanjutkan perjalanan.

Tahukah kamu, beberapa hal yang tidak seperti biasa, meskipun itu sedikit, sebenarnya tak pernah luput dari pemikiran saya. Misalnya, kamu yang biasanya selalu tidur siang lalu tiba-tiba tidak tidur siang. Kamu yang biasanya tidak suka makan pedas lalu tiba-tiba makan pedas. Hal-hal kecil yang mungkin tidak kamu sadari seringkali telah membuat saya berpikir berkali-kali. Oke, saya juga sempat memikirkan bahwa sesekali hidup perlu pembaruan. Selama itu tidak merugikan dan cenderung meningkatkan kualitas diri, saya mencoba berpikir bahwa hal itu memang bukan apa-apa, bukan suatu masalah yang berarti. Namun tak jarang hal-hal kecil yang mungkin tidak kamu sadari tersebut berkecamuk di dalam pikiran saya, berlarut-larut, lalu menjadi besar di pikiran saya.

Jika ada sesuatu yang 'salah' dalam dirimu, seringkali saya mengintrospeksi diri saya sendiri. Memikirkan apa yang telah saya perbuat, apa yang semestinya telah saya perbuat (lampau), dan apa yang semestinya akan saya perbuat (future). Saya jauh dari menyalahkanmu. Namun terkadang saya terlalu ingin tahu atas apa yang sedang menimpamu. Terkadang saya mencoba menahan diri untuk tidak terlalu ingin tahu. Terkadang saya ingin tidak berpikir terlalu jauh dan just let it go. Terkadang saya -lagilagi- terlalu berpikir dan ujung-ujungnya kembali menyalahkan diri saya sendiri.

Semestinya saya tidak terlalu memikirkan hal ini, tidak perlu juga mengeposnya disini.

Semangat dan Kerja Keras

Kamu mengingatkanku dengan dua hal itu, yang -jujur- beberapa minggu ini saya lupakan. Bukan, sesungguhnya bukan sejak beberapa minggu belakangan. Lebih bahkan.

Ingat dulu. Semangat dan kerja keras itu tinggi terpatri dalam setiap langkah yang sedang dan akan saya lalui. Seperti bagaimana saya harus belajar keras di kelas tiga SMA, menyesuaikan kemampuan akademik dengan teman-teman satu kelas, dimana saya pada saat itu adalah seorang siswi baru dari sekolah 'kampung' yang ketinggalan pelajaran. Setiap jam 7 malam, tanpa dikomando ibu bapak, saya yang pada saat itu sudah mulai indekos selalu mendisiplinkan diri untuk siap di meja belajar, sampai jam 10 malam. Siangnya saya mengikuti kegiatan les di sekolah, lalu sorenya les di luar sekolah. Tujuan utama saya waktu itu adalah bisa menjadi mahasiswa kedokteran.

Semangat dan kerja keras tetap terpupuk walaupun saat itu saya tidak berhasil menjadi mahasiswa kedokteran. Menjadi professional dan mampu mengabdikan diri kepada masyarakat bukan hanya dapat dilakukan seorang dokter, bukan? Saat itulah dulu saya mencoba membuat peta hidup baru. Mencoba menggali lebih dalam bidang yang saya kuasai. Menyusun mimpi sedikit demi sedikit. Membuat rencana prior untuk beberapa tahun ke depan sekaligus mempersiapkan back-up plans selanjutnya. Lalu berusaha seoptimal mungkin meraih mimpi-mimpi itu.

Optimistis. Dulu saya punya itu. Entah sejak kapan kata itu seperti tak mau dekat-dekat saya lagi. Saya sadar, di bidang yang tengah saya tekuni sekarang pun saya memiliki banyak kekurangan. Dengan semangat dan kerja keras, saya dulu menjaga keoptimisan yang bergulir di kehidupan saya. Namun entah mengapa, dalam beberapa hal sekarang saya melupakan yang dua itu, sedikit pesimistis dengan rencana-rencana yang semula sudah pernah saya susun rapi dan ingin saya capai. Semua itu terasa bertentangan dengan rencana-rencana baru yang juga ingin saya wujudkan. Beberapa kali kata tanya semacam mungkinkah, apakah dan bagaimana telah menahan langkah saya. Mungkinkah rencana-rencana dulu dapat saya raih? Bagaimana jika tidak? Bagaimana meraihnya? Apakah saya benar-benar ingin meraih rencana-rencana baru itu? Mungkinkah rencana-rencana lama dan baru dapat berjalan selaras? Apakah yang harus saya prioritaskan? Bagaimana jika semua prioritas? Apakah rencana-rencana baru yang terkesan 'diburu-buru' dapat berjalan lancar?

Jika kedua rencana lama dan rencana baru begitu bertentangan, semangat dan kerja keras terasa seperti mempermudah salah satu, namun mempersulit satunya. Mungkinkah saya meraih semuanya dengan semangat dan kerja keras yang lebih bersemangat dan lebih keras?