Dear DSR,
kapan kita berjumpa lagi?
Bulan berganti. Tak terasa sudah hampir dua bulan kita tidak berjumpa. Masihkah kamu ingat, bagaimana wajah letih saya saat pertama kali kita bertemu? Saya ingat betul, tentang rasa tak percaya diri dan segala pikiran yang berkecamuk di dalam diri saya selama 14 jam di perjalanan itu. Kala itu saya tak henti menghitung mundur waktu berjumpa denganmu. Bukan, rasa itu bukan rasa rindu kepada ibu pertiwi yang sudah hampir satu tahun saya tinggalkan yang terasa dominan. Itu betul-betul rasa rindu --yang aneh, sebab sebelumnya kita belum pernah bertemu-- padamu. Saya nyaris tidak bisa pulas memejamkan mata.
Saya ingat betul, waktu itu kamu berdiri sambil menggenggam segulung surat kabar dan sebotol air mineral, mengenakan sebuah jaket coklat, tas samping hitam, kemeja putih bergaris, celana dan sepatu hitam. Apakah kamu sudah cukup lama menunggu?
Perasaan bahagia, canggung, ingin berbicara dan mengingat wajahmu lebih lama, serta ingin membuat lebih banyak kenangan saat bertemu denganmu, semua itu bertaburan di atas kepala saya. Saya beberapa kali mengumpat, mengapa mesti hari Jumat? Semestinya kita bisa berjumpa dua jam lebih lama. Ah, waktu.
Dear DSR. Saat terberat dalam pertemuan itu adalah saat saya harus melepas jabat tanganmu. Waktu itu saya berpikir, akankah kita berjumpa lagi dalam suatu pertemuan yang lebih menyenangkan. Akankah kita dapat bercakap-cakap lagi, membicarakan beberapa topik menarik. Akankah jalinan silaturahmi kita berlanjut lebih baik. Waktu itu saya juga berpikir, jikapun semuanya tidak berjalan sesuai dengan apa yang saya harapkan, saya begitu bahagia pernah mengenal dan bertemu denganmu.
Terima kasih telah membuat semuanya menjadi lebih indah.
Sincerely yours.
Wah...ketemuan sama orang spesial ya. Selamat ya. Semoga bahagia.
ReplyDeleteI definitely know who's that guy!
ReplyDelete:D