Wednesday, July 27, 2016

Sehelai Memori

Jika memang ada, ingin sekali rasanya memiliki sebuah pensieve, ramuan ajaib, serta sehelai rambut yang bisa digunakan untuk menyimpan atau sekedar berjalan-jalan kembali ke masa lalu. Beberapa terasa seperti masih sangat dekat, seolah baru kemarin.

Waktu itu saya dan mahasiswa baru lainnya sedang mengikuti kelas Kalkulus I. Suasanya kelas tampak lengang, sebagian besar mahasiswa hanya menunduk dan hampir tidak ada yang berani menjawab pertanyaan dosen pengajar. Yang terdengar hanyalah derap sepatu kulit warna hitam sang dosem yang berjalan cepat di depan kelas, lalu ke belakang, lalu kembali lagi ke depan. Sambil terus berbicara dengan penuh semangat, lalu mengulang beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang tidak ada variabel x, y, atau z-nya, tidak juga ada kata limit, turunan, maupun integral. Tidak ada angka.

Sama seperti mahasiswa lain, saat itu saya kesulitan mengikuti arah pembicaraan sang dosen. Seperti sedang menghubung-hubungkan tentang materi yang akan dipelajari, juga memotivasi, juga disertai pertanyaan-pertanyaan singkat yang sepertinya sepele tapi entah kenapa terasa begitu susah dan tidak ada satupun yang menjawab. Tapi saya yakin pasti banyak yang ingin disampaikan sang dosen, hingga suaranya terdengar secepat derap sepatunya saat berjalan di dalam kelas. Sangat bersungguh-sungguh.

***

Lama berselang, di suatu kesempatan berbeda beberapa tahun kemudian. Masih terasa hangatnya tumpukan kertas setelah keluar dari mesin fotokopi. Berpacu dengan waktu yang semakin malam, sementara sidang akhir tinggal menghitung jam. Dengan penuh harap saya hubungi sang dosen agar bersedia ditemui dan membaca hasil kuliah saya selama dua tahun, sebelum diuji keesokan harinya. Akhirnya draft tesis berhasil saya serahkan.

Keesokan harinya sebelum sidang, draft tesis saya telah menjelma penuh catatan dan lipatan-lipatan. Nyaris dari awal sampai akhir section ada catatan dari sang dosen. Kecewa? Tidak! Sama sekali tidak. Dibandingkan dengan euforia lulus sidang dengan nilai A yang diumumkan hari itu juga, catatan-catatan dari sang dosen adalah yang paling berkesan. I don't know why, but that means a lot to me.

***

Bulan-bulan berikutnya saya dapat kesempatan untuk belajar mengajar di beberapa kelas sang dosen. Sementara saya duduk memperhatikan layaknya seorang mahasiswa baru, saya dengar kembali derap sepatu kulitnya. Suasana kelas yg mendadak lengang. Suaranya yang cepat secepat langkah kakinya. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang hampir tak satupun mahasiswa mampu menjawab.

Tidak seperti beberapa tahun lalu, kali ini saya lebih paham. Pertanyaan-pertanyaan sang dosen tidak sulit. Mudah dijawab. Dan setiap kali memulai pelajaran selalu disertai dengan kata-kata motivasi yang apik. Mungkin dulu saat sedang menjadi mahasiswa baru saya belum betul-betul terbuka hati dan pikiran untuk dididik. Tapi kali ini saya tahu, he's the real teacher!