Sunday, September 25, 2011

Sate

Salah satu dari sekian banyak makanan favorit saya adalah sate. Mengapa sate Madura begitu menggoda?

Pertama aromanya. Dulu itu, entah itu adalah pertama kalinya saya diajak membeli sate, atau entah itu pertama kalinya saya menyadari betapa harumnya asap sate (gyaa, asap!). Suatu sore hari, mungkin sekitar pukul 5 sampai 5.30 sore, karena waktu itu lampu jalan belum menyala, serta orang-orang belum menghidupkan lampu-lampu rumah. Saya berdiri dengan senangnya di depan vespa biru milik Bapak. Rambut saya yang waktu itu nggak pernah lebih dari sebahu berkibar-kibar. Aah, angin sore begitu indah.

Lalu Bapak berbelok ke sebuah warung di pinggir jalan raya di deket pasar kecamatan. Warung yang mengeluarkan asap hingga ke pinggir jalan. Herannya, wangi asapnya enak banget. Harum, seperti sesuatu yang saya kenal!

Di tempat dimana asap itu berasal, berdirilah seorang bapak berkumis, bertopi aneh, serta salah satu bola matanya terlihat seram. Belakangan saya baru tau kalo bapak penjual sate itu katarak. Bapak berkumis pak raden itu sedang mengipas-ngipas sesuatu. Aha! Sate! Ternyata asap itu adalah asap sate. Setelah itu, tiap kali tau kalo Bapak atau Om saya (adiknya Ibu) hendak pergi membeli sate, saya selalu pengen ikut. Demi mencium asap sate. Hwahahaha.

Kedua, tentu rasanya. Saya suka sate berbumbu kacang dan berkecap. Tapi saya kurang suka sate yang berkecap saja, atau sate dengan bumbu kacang saja. Saya suka kalo bumbu kacangnya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu halus. Lebih enak yang terasa "kres-kres" gitu. Hehehe. Pokoknya sate madura bapak berkumis di deket pasar kecamatan waktu itu terasa T.O.P B.G.T.

Sebelum sekolah pun saya sudah tergila-gila pada sate. Tiap kali sakit, saya selalu minta dibelikan sate. Nggak ada sate, nggak makan. Nggak ada sate, belum sehat. Tapi herannya, setelah makan sate, saya waktu itu merasa lebih sehat. Lalu segera sembuh. Aneh ya.

Hari ini, saya bikin sate sendiri. Walaupun nggak seenak sate-sate yang pernah saya coba sebelumnya, rasa sate ini cukup mengobati rasa rindu kepada keluarga, kepada kampung halaman, kepada semuanya.

Have a very warm Sunday!

Saturday, September 24, 2011

I Wish..

Tahun ini adalah tahun yang sangat baik. Dia yang begitu murah hati memberi saya lebih dari 5/6 tahun di tempat yang dulu sangat ingin saya datangi.

(Nostalgia dulu ya..)

Secara kebetulan, saya dan temen-temen SMA dulu menyebut Amsterdam sebagai singkatan dari Anak Merasi Terdalam. (Heh? Jangan ketawa ya..!). Nelly, Rica, Santy, I miss you and those moments again! Betapa dulu kami ingin sekali memegang bunga tulip, membaui wanginya (eh ternyata nggak ada wangi-wanginya blas), serta berpose di samping kincir angin. Pernah suatu hari, kami berempat sama-sama mendekorasi majalah dinding SMA edisi Idul Fitri. Di bagian tengah atas, kami membuat gambar kincir angin yang berdinding batu-bata ke-orange-an, didampingi tulisan, "Angin Wuzz mengucapkan selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.."

Pernah juga pada suatu hari di ulang tahun saya di kelas dua SMA. Siang itu saya sedang duduk-duduk bersama keluarga di rumah. Tiba-tiba salah satu temen SMA, satu tingkat di atas saya, cowo, namanya Joko, dan salah satu temennya dateng ke rumah saya dengan membawa sebuah kardus besar. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun, dia lalu buru-buru pulang. Ternyata ada sebuah miniatur kincir angin yang terbuat dari karton di balik kardus besar itu. Lucu sekali.



Betapa senengnya karena Dia yang begitu baik telah mengantarkan saya kesini. Bolehkah meminta yang lain lagi? Bolehkah meminta yang lain juga, selain apa yang saya pinta di setiap doa-doa harian saya?

Saya ingin lulus ujian geometry. Saya ingin tamat kuliah tepat waktu dengan nilai yang baik. Saya ingin ke Korea Selatan, Bunaken, dan Karimunjawa. Saya ingin punya mobil yang dibeli dengan uang sendiri. Saya ingin punya i-Phone model terbaru, juga dibeli dengan uang sendiri. Saya ingin bisa bikin buku matematika sekolah. Saya ingin jadi tim inti di lembaga research pendidikan matematika. Saya ingin bikin rumah makan khusus ikan gurame di depan kolam gurame Bapak. Saya ingin bikin tempat les matematika sekolah untuk siswa SD dan SMP buat Ibuk.

Happy amazing birthday!

Thursday, September 15, 2011

Majalah Edisi Valentine

Waktu itu kelas 1 SMA, saya di kelas 1.2. Saya duduk di bangku nomor empat dari depan. Di depan saya, kalo nggak salah, ada Dhana, kadang juga saya panggil Dhani. Di samping kiri saja tentu saja Nelly yang cantik. Keturunan asli Batak tapi bermata sipit dan berkulit putih. Orang-orang pasti mengira dia memiliki darah Tionghoa. Heh? Tionghoa dari hongkong?! Di belakang saya adalah Agi Guntoro yang sering saya panggil Egi, dan Ade Irawan sang wakil ketua kelas.

Waktu itu adalah pelajaran Geografi. Salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang nggak saya sukai. Oke, saya sedikit suka Geografi kalo itu sudah menyangkut pengetahuan-pengetahuan umum tentang letak geografis negara-negara di dunia atau kebudayaan-kebudayaannya. Tapi saya paling nggak suka kalo itu udah tentang kependudukan dan unsur-unsur bebatuan, serta tentang bentuk permukaan bumi. Eeerrrggghhh. Ngantuk sekali.

Waktu itu Pak Saidi, guru geografi kelas satu, sedang 'mendongeng' tentang unsur-unsur tanah atau apalah itu. Batuan sedimen, batu apung, batu akik (ehe, yang belakangan enggak ya). Rasa kantuk mulai merambat mendekati mata. Tiba-tiba, cling! Saya baru inget, tadi pagi sebelum pelajaran dimulai saya sempet minjem majalah anak muda, An**a Ye**! edisi valentine milik Dian Mayasari, siswi kelas 1.4 yang dulu juga adalah temen sekelas saya selama 3 tahun di SMP. Cover majalahnya berwarna pink, dengan model yang tersenyum lebar, cantik dan cakep!

Entah kenapa saya merasa pede-pede saja untuk mengangkat majalah itu ke atas meja belajar. Mungkin karena ada tiga bangku di depan saya. Majalah saya taruh di atas meja, buku-buku saya tumpuk di bagian depan meja saya, lalu buku catatan di atas majalah, sesekali saya singkirkan demi kelancaran membaca majalah. Namun kalau saya merasa kurang aman, buku catatan langsung saya taruh menutupi majalah.

Di tengah penjelasan Pak Saidi tentang bebatuan itu, tiba-tiba Pak Saidi berjalan menuju sela-sela bangku, menuju ke arah saya. Buku catatan saya tutupkan di atas majalah. Karena buku catatan saya masih kurang besar, lalu saya tutupi juga pake beberapa buku yang saya tumpuk di meja bagian depan. Berdirilah Pak Saidi, persis di samping saya. Dada ini sudah bener-bener bergemuruh, teman! Saya membayangkan akan dicubit, dijewer, ditampar, atau disobek-sobek bajunya.

"Apa itu yang di bawah buku catatan?" Kurang lebih begitu kata-kata Pak Saidi.

Seisi kelas langsung lengang. Semua mata tertuju ke arah saya. Nelly diam, dia nggak mau ikut campur dengan tindak kenakalan saya. Padahal sebelumnya dia juga udah mengingatkan untuk menutup majalah sebelum ketauan.

Oh man, rasanya seperti baru saja ketauan membunuh! Serem sekali merasakan detik-detik saat Pak Saidi berdiri di samping kanan meja dan semua mata di kelas melihat ke arah saya. Karena saya tetep saja bungkam, Pak Saidi mengambil sendiri majalah yang ada di bawah buku catatan. Sesaat saya terpikir harus berurusan ke guru BP, mengambil majalah disana. Atau paling buruk, majalahnya nggak dikembalikan. Tapi yang terjadi adalah, Pak Saidi menyobek majalah menjadi dua! Lalu menjadi empat, lalu menjadi delapan, lalu menjadi lembaran-lembaran kecil yang berserakan di atas meja!

Ooh, hati saya juga terasa seperti dikoyak-koyak. Harus bilang apa ke Dian nanti?

Seiring dengan selesainya eksekusi terhadap majalah pinjaman edisi Valentine itu, bel tanda istirahat berbunyi. Sebelum meninggalkan saya yang tertunduk menyaksikan sobekan-sobekan majalah, Pak Saidi berkata, "Lapor ke BP!" Saya semakin tertunduk lemas. Nggak berani memandangi punggung Pak Saidi yang berjalan keluar meninggalkan kelas.

Menemui guru BP bukanlah kasus mudah. Kedua guru BP di SMA terkenal judes. Terlebih lagi, mereka kenal baik dengan keluarga saya. Salah satunya adalah Bu Siawati. Di luar sekolah saya biasa memanggil Bude Sia, suami Bude Sia adalah Pakde Giarto, temen deket Bapak. Anak-anaknya Bude Sia adalah Mbak Ria (satu SMP dengan saya, tapi setahun lebih tua), Mbak Aar (satu SMP juga, tapi setahun lebih muda), dan Mas Ivan (partner in crime-nya Dek Bryan). Sementara guru BP yang satu lagi adalah Bu Sri Mahyuni. Yang rumahnya nggak jauh dari rumah saya. Lebih baik saya pergi manjat pohon kelapa daripada harus menemui kedua guru BP tersebut.

Namun saya harus kesana. Keberanian untuk memasuki ruang BP baru muncul sehari setelah kejadian di kelas geografi. Setelah diberi dukungan moral dan spiritual dari ketiga temen deket saya, Nelly, Rica, dan Santy. Saya ketok deh pintu ruang BP.

Ternyata hanya ada Bu Sri Mahyuni. "Kenapa Sep?" begitu sambutnya. Saya hanya membalas dengan nyengir kuda. Bu Sri sepertinya sedang menuliskan sesuatu di buku catatannya, lalu saya duduk di kursi rotan di depan mejanya. Lagi-lagi saya diam.

Sepertinya Bu Sri udah tau perihal tindak kejahatan saya kemarin. Melihat saya yang diam saja, Bu Sri menutup catatannya pelan-pelan, lalu bilang kurang lebih begini, "Ya sudah, besok-besok jangan baca majalah waktu guru mengajar di kelas." Saya lalu disuruh kembali lagi ke kelas. Aaaaah. Lutut saya terasa lemas sewaktu mau berdiri dari kursi rotan itu.

Setelah bilang terima kasih dan membungkukkan badan, saya keluar ruangan BP dengan hati yang lega. Rasanya dunia menjadi cerah seperti sedia kala. Saya kira saya harus membawa surat teguran untuk orang tua di rumah. Tapi ternyata tidak. Oooh bahagianya.

Selanjutnya yang harus saya lakukan adalah meminta maaf kepada pemilik majalah, membeli majalah edisi yang sama sebagai ganti, lalu bisa tertawa-tawa di kantin kembali.

Ehm, saya nggak tau kapan Bapak Ibu mendengar perihal tindak kejahatan saya ini. Suatu malem, saya sekeluarga berkunjung ke rumahnya Bude Sia. Itu adalah kali pertama saya berkunjung ke rumahnya setelah tragedi majalah valentine. Kikuk. Saya nempel-nempel terus di belakang Ibu, padahal biasanya saya asyik aja maen sama Mbak Ria dan Mbak Aar. Saya was-was kalau saja Bude Sia bakal membongkar kejahatan saya kepada Ibu Bapak saat saya nggak disana. Tapi ternyata, Ibu Bapak, Bude Sia, dan Pakde Giarto malah membahas masalah itu sambil ketawa-ketawa di depan saya! Ngeledek saya! Ohmaigad! Rasanya pengen menghilang langsung ke kamar Mbak Ria dan Mbak Aar..

Wednesday, September 14, 2011

Imunisasi

Pemberian anti-cacar, anti-TBC, anti-hepatitis, anti-polio, dan lainnya adalah salah satu program pemerintah dalam rangka mengurangi risiko balita atau dewasa terkena berbagai macam penyakit. Ehe, imunisasi namanya. Saya nggak tau secara detil, kapan waktu yang tepat untuk imunisasi. Hihihi. Maklum, saya belum pernah mengurusi balita, atau belum memiliki pengetahuan yang baik waktu dulu pernah menemani Ibu ke posyandu untuk mengimunisasi Dek Bryan. Seinget saya, sampai kurang lebih kelas 2 atau 3 sekolah dasar, saya masih dapet imunisasi.

Waktu itu kelas 1 SD. Saya masih inget, pertama kali masuk sekolah sepatu saya berwarna merah cerah. Lalu Bu Katin, guru kelas 1 SD, menghampiri saya sewaktu istirahat. Dengan nada keibuan, Bu Katin memberi tahu, kalau ke sekolah saya sebaiknya memakai sepatu berwarna hitam. Bukan apa-apa, waktu itu Ibu saya memakaikan sepatu berwarna merah karena sepatu-sepatu sekolah yang berwarna hitam nggak ada satupun yang pas di kaki saya. Saya terlalu mungil!

Di usia yang belum cukup lima tahun saya sudah menginjak bangku sekolah dasar lho. Itu karena saya nggak mau masuk TK. Kata Ibu, dulu saya ngotot pengen masuk SD karena TK menurut saya adalah sekolah buat anak-anak yang kerjaannya cuman menyanyi dan menggambar! Ebuset. Mungkin saya dulu pengen sekolah yang langsung bisa merakit bom kali yak. Alhasil, kelas satu sekolah dasar sebenernya saya sekedar dititipkan, betah syukur, nggak betah ya udah. Eh, ternyata dapet rapor, lalu ikut naik ke kelas dua. Alhamdulillah yah, sesuatu sekali.

Kelas satu SD, pertama kalinya mendapatkan imunisasi selama di bangku sekolah. Salah satu temen saya, perempuan, namanya Vandu Irawati. Panggilannya Pandu. Saat kami satu persatu menunggu dipanggil untuk diimunisasi, Pandu udah kelihatan 'bingsal'. Nggak mau diam. Mukanya kelihatan seperti mau nangis dan pengen pulang. Namun semua siswa berada di bawah pandangan Bu Katin yang berbadan gede, jadi nggak bakalan bisa kabur deh. Hehehe.

Tiba giliran Pandu. Eh, dia lari! Beneran lari sambil menangis, nggak mau diimunisasi. Padahal cuman ditetesin cairan doang ke dalem mulut looh! Belakangan saya malah ketagihan. Hihihi. Pandu kecil lari-lari ke kelas sebelah yang kosong (saya lupa kenapa kelas sebelah kosong), bersembunyi di bawah meja sambil terisak-isak. Saat Bu Katin mendatangi dan membujuk Pandu untuk diimunisasi, Pandu tetep memegangi kaki meja, bener-bener nggak mau.

Beberapa menit dibujuk, akhirnya Pandu mau diimunisasi. Horeee. Setelah diimunisasi, saya, Pandu, dan temen-temen lainnya bermain rumah-rumahan di koridor kelas bersama. Seolah-olah tragedi menangis di bawah kolong meja nggak pernah terjadi.

Pandu oh Pandu..

Selain inget sekelumit cerita masa kecil dulu tentang imunisasi, ada beberapa potongan-potongan cerita tentang Pandu yang saya inget.

Kelas empat SD. Waktu itu saya dan beberapa temen sedang bermain di rumahnya Pandu. Ada pohon rambutan yang lumayan rimbun di depan rumahnya. Enak deh, main rumah-rumahan di bawah pohon rambutan yang waktu itu sedang berbuah. Pandu emang terkenal gemar memanjat pohon. Ehe, jangan disamakan sama temen kalian yang hobi bergelantung ria itu ya. Waktu itu dia asyik memanjat pohon, sementara saya dan temen-temen lain tetep di bawah. Beberapa ranting emang nggak terlalu kokoh. Meskipun kami udah beberapa kali mengingatkan Pandu untuk tidak terlalu jauh mengambil rambutan, dia masih saja memanjat, hingga ke ujung-ujung ranting pohon. Kasian Pandu, akibat bertumpu pada ranting yang nggak terlalu kokoh, dia terjatuh dari ketinggian sekitar 4-5 meter. Posisi jatuhnya mengakibatkan persendian di tangan kanannya bergeser. Tulang tangan di sekitar bawah siku juga retak.

Untuk beberapa bulan lamanya, Pandu bersekolah dengan tangan kanan yang digendong, lalu diperban, lalu lama kelamaan dibuka. Terlihat biru lebam ketika dibuka. Tangan kanan dan kirinya nggak terlihat sama. Daerah sekitar siku kanan terlihat lebih membengkak, dan hanya bisa digerakkan pelan-pelan. Selama tidak bisa menggunakan tangan kanan, Pandu tetep berusaha menulis. Dia belajar menulis dengan tangan kiri. Dia juga tetep ceria seperti Pandu biasanya.

Kelas lima SD adalah saat dimana kami mulai diajarkan untuk menabung. Guru kelas lima mengkoordinir para siswa dalam membuatkan buku yang pura-puranya jadi buku tabungan. Uang yang disetorkan ke guru kelas dicatat di 'buku tabungan' kami, lalu setelah dikumpulkan, guru kelas mendepositokan sendiri uang para siswa ke bank. Saya dulu juga rutin menabung. Nggak gede tentunya. Uang saku saya di kelas lima waktu itu adalah lima ratus rupiah perhari. Waktu itu harga pisang goreng masih 25 atau 50 rupiah (lupa). Kalau tiba waktu menabung, biasanya setiap dua hari sekali, Ibu akan memberi saya uang seribu rupiah. Lima ratus untuk ditabung, lima ratus lagi buat jajan, tetep. Hehehe. Tapi sebagai anak yang rajin dan berbakti kepada orang tua, terkadang saya mengumpulkan sisa uang jajan harian saya untuk ditabungkan juga.

Jujur, dulu saya sering ciut tiap kali lihat buku tabungannya Pandu. Gimana enggak, uang yang ditabungkan Pandu setiap kali menabung setara dengan uang yang saya tabungkan selama sepuluh kali menabung! Nggak tanggung-tanggung, dia menyetor sekitar lima ribu rupiah tiap kali menabung. Ngiler deh. Nggak heran, di akhir tahun ajaran, Pandulah juaranya! Dia memiliki tabungan terbanyak dibandingkan siswa-siswi lainnya di kelas. Selamat yaaaa.

6 tahun di SD sekelas sama Pandu. SMP dan SMA nggak satu sekolah. Lalu kini udah jarang mendengar kabarnya. Miss you much, Ndu..

Ps: Abis dibaca ulang, judulnya kayaknya kurang pantes ya. Hihihi.

Gerak Jalan

Entah kenapa tiba-tiba pemandangan waktu saya masih muda dulu (bukan berarti sekarang udah tua ya) terputar kembali. Seperti potongan-potongan film yang lama kelamaan tersusun setelah menemukan kelanjutan cerita dan cerita sebelumnya. Ini juga yang membuat saya berniat menambahkan sebuah label baru di blog ini, nostalgia.

Kelas lima sekolah dasar. Saya hanya bisa melihat kebahagiaan teman-teman saya yang berjuang mengharumkan nama sekolah di lomba gerak jalan, dalam rangka memeriahkan ulang tahun kemerdekaan. Saya juga hanya bisa melihat dan berdecak kagum dalam hati, saat melihat piala kecil yang dibawa pulang ke sekolah. Kalau nggak salah, tim putri di SD saya menyabet juara harapan, lupa juara harapan satu atau tiga. Saat itu saya nggak berpartisipasi, mungkin karena tinggi saya yang emang nggak memadai (baca: mungil) atau karena waktu itu guru saya di sekolah dasar nggak tega membayangkan saya pingsan kalo diikutsertakan ke dalam lomba. Aaah, iri sekali.

Kelas enam sekolah dasar adalah pertama kalinya saya mengikuti gerak jalan. Menempati posisi paling belakang dan di tengah (tentu saja). Saya cukup bangga karena bisa ikut lomba. Setidaknya akan banyak warga yang melihat saya di dalam barisan ketika melintasi wilayah ramai penduduk. Yah, walaupun sedikit kecewa juga karena punggung saya harus ditempelin nomor regu. Uuh, nggak keren sekali. Kalau nggak salah, waktu itu tim putri sekolah saya tidak berhasil memperoleh juara maupun hadiah. Kalah.

Semangat mengikuti gerak jalan terpatri terus dalam jiwa saya hingga.....kelas 1 SMA. Namun selama itu, hanya pengalaman sewaktu menjadi komandan pasukan di kelas 3 SMP saja yang paling berkesan.

Kelas 1 SMP, lagi-lagi saya ditempatkan di barisan paling belakang dan di tengah. Kelas 2 SMP saya berada di barisan nomor dua dari belakang, terima kasih buat adik-adik kelas 1 SMP yang memiliki badan lebih mungil dari saya. 

Mungkin karena saya cukup berprestasi di kegiatan ekstrakurikuler pramuka, kelas 3 SMP saya dipercaya menjadi komandan tim putri di lomba gerak jalan waktu itu. Saat itu adalah hari ulang tahun Indonesia yang ke-56. (kok inget banget Mbak?) yah pan udah dibilang, gerak jalan kelas 3 SMP yang paling berkesan.

Waktu itu, tim yang saya pimpin menyabet juara pertama di tingkat kecamatan. What a great achievement! :D

Empat buah tim dari sekolah saya yang dipersiapkan untuk mengikuti gerak jalan. Dua tim putri, dua tim putra. Baik tim putri maupun tim putra dibagi menjadi dua, yang satu adalah tim senior, satu lagi tim junior. Saya memimpin tim senior putri. Anggotanya mayoritas siswi kelas 3 SMP, serta beberapa siswi kelas 1 dan 2 SMP yang berbadan tinggi. Hmm, rada nggak pede juga karena di barisan paling depan saya sebaris sama 3 siswi yang tinggi-tinggi. Sebelah kiri saya adalah Rica Nanita. Tiga tahun menjadi 'saingan' saya memperebutkan juara pertama di kelas. Dulu saya sempet kurang 'sreg' sama Mbak Rica ini, tapi siapa sangka, mulai SMA hingga sekarang saya menjadi akreb sama Mbak Rica.

Mau tau kenapa tim saya menjadi juara? Selain kompak, tim saya memiliki beberapa variasi andalan. Boleh dicontek deh, siapa tau sepupu atau keponakan kalian sedang bersekolah dan tahun depan berminat mengikuti lomba gerak jalan. Hihihi.

Variasi andalan adalah variasi go-go! Tau Project-Pop? Tau juga dong sama lagunya Tu-Wa-Ga-Pat? Hmm. Berkat kerjasama tim yang solid sejak dua minggu sebelum lomba, lagunya Project-Pop ini dikemas menjadi variasi andalan tim. Saya cukup memberikan komando, "Variasi Go-Go, mulai!" Tapi harus inget, kata mulai diucapkan cepat (seperti mengucapkan satu suku kata), pas pada saat kaki kanan melangkah. Lalu barisan akan berjalan zig-zag 3 langkah sambil meneriakkan "Pi-yo-pi, pi-yo-pi, pi-yo-pi, go! go!" dengan suara khas Project-Pop. Kanan-tutup-kiri-tutup-kanan-brenti (sambil memutarkan telunjuk kanan di samping pelipis kanan). Berhenti sambil meneriakkan "Go! Go!" sambil mengepalkan tangan kanan ke atas. Nggak kebayang bangganya saya dan temen-temen di tim dengan variasi yang kami ciptakan ini. Sampai beberapa hari kemudian, lagu Project-Pop ini menjadi trending topic di kalangan para pelajar di kecamatan.

Variasi kedua diciptakan oleh Bapak pelatih tim gerak jalan di sekolah saya. Bapak Rinantoko (alm.). Tahun itu adalah ulang tahun Indonesia yang ke-56. Pak Rin menambahkan sebuah variasi, namanya variasi Lima-Enam. Saya cukup memberikan aba-aba, "Lima-Enam, mulai!" Lalu para anggota tim meneriakkan "Dirgahayu! Indonesia! Merdeka! Merdeka!" tanpa melakukan gerakan kaki yang signifikan. Variasi ini dipake supaya tim bisa terus berjalan maju jika ada tim lain di belakang yang sudah semakin mendekat, jadi nggak ketabrak karena variasi ini nggak memperlambat jalannya tim. Terima kasih sekali buat Pak Rin.

Menyandang nama baik sebagai komandan pasukan gerak jalan SMP dengan variasi yang bisa menjadi trending topic, di kelas 1 SMA saya dicalonkan lagi menjadi komandan pasukan. Awalnya saya males. Ogah banget. SMA gitu lho. Tapi akhirnya saya tetep maju. Ternyata mengomandani tim baru saya kali ini jauh lebih susah. Kurang kompak. Pokoknya banyak yang kurang. Alhasil, nggak menang.

Cukup banyak kesan mengikuti gerak jalan. Nggak semua siswa mau ikut serta di lomba ini lho. Keringat bercucuran dari ujung kepala sampai ujung kaki. Punggung dan ketiak basah kuyup. Ketiak dan selangkanan kaki lecet karena latihan udah dimulai sejak sekitar dua minggu sebelum lomba. Alas sepatu menipis. Dan tentunya sebagai komandan, suara jadi serak, kering, parau, bahkan sakit di detik-detik terakhir lomba. Tapi di kacamata saya, gerak jalan memiliki banyak sekali cerita yang menarik untuk diingat kembali.

A Quarter Day in Milan

Italy adalah negara keempat yang pernah saya kunjungi. Pertama Belanda tentu saja. Lalu saya pernah berjalan selama 3 hari di 3 kota di Belgia, tetangganya Belanda. Seminggu sebelum mengunjungi Italy, saya sempat beberapa hari di Paris, Prancis.

Berangkat dengan penerbangan pukul 9 pagi dari Eindhoven, Belanda, naik maskapai yang namanya Ryan Air. Lebih murah dibandingkan maskapai yang lain. Apalagi kalo nggak bawa barang untuk ditaruh di bagasi. Tapi iya, barang bawaan yang boleh dibawa ke cabin nggak boleh lebih dari satu tas ransel. Waktu berangkat aja bawaan udah penuh baju buat 5 hari. Gimana pulang nanti? Lalu kurang lebih dua jam kemudian, sampailah saya di Bergamo, Milan. Nggak ada perbedaan waktu, nggak ada perbedaan mata uang. Bahasa aja yang beda tentunya. Orang-orang yang berbahasa Inggris di negara besar ini sangat jarang! Fiuh. Permiso.

Eiya, walaupun nggak sempet mampir ke Swiss, saya sempet melihat pegunungan es Alpen dari udara. Wuuu, so icy beautiful. Keren ya, musim panas gini puncak pegunungannya masih tertutup es! Uuuuh, jadi pengen ski, man! (bisa maen ski aja enggak!)



Butuh waktu sekitar 1 jam menggunakan bus dari Bergamo untuk sampai ke pusat kota Milan. Hmmm. Cukup jauh yah. Tapi mengingat esok harinya saya dan rombongan harus bergerak ke arah selatan, menuju Pisa, saya dan rombongan langsung memanfaatkan waktu dari siang hingga malam untuk berkeliling di Milan. Sekitar lebih dari seperempat hari.

Sesampainya di Milan, belum naruh tas, belum sempet berselonjor ria, saya dan rombongan buru-buru mendatangi stadion San Siro, tempat mangkalnya dua klub sepak bola ternama Milan. Yah, biasa, separo rombongan adalah penggemar bola yang ngebet banget banget banget buat mampir ke stadionnya.

Sayangnya, sesampainya di San Siro, rumput di lapangannya sedang digunduli, diganti maksudnya. Jadi nggak hijau deh. Huh, udah bayar mahal-mahal buat masuk tour stadion! Balikin uang kami!

Ini salah satu pintu masuknya. Antri, bayar dulu belasan euro. Lupa persisnya.

Ini dalemnya stadion. Menurut saya mah nggak gede. Luasnya standar pas lapangan bola.

Tuh, rumputnya lagi digunduli. What a pity!
Anda pendukung yang ini?

Atau yang ini?

Kaos bola yang mahalnya na'ujubile..

Italy jauuuh lebih panas dari Belanda. Ngopi dingin dulu sebelum mimisan. :D

Para pengunjung stadion wajib bayar sebelum bisa masuk, walaupun sekedar untuk melihat-lihat. Disana ada tour berkeliling stadion, waktu itu kami kebagian guide cewe yang suaranya kenceng dan lancar kayak kaset yang lagi diputer. Nyerocos bercerita sejarah stadion dan dua klub kebanggaan Milan sampe hampir lupa napas. Hmm, saya sebut antusias deh.

Sebelum masuk melihat lapangan bolanya, rombongan tour masuk ke museum bola dulu. Museumnya juga di dalem stadion. Disanalah tempat 'bertenggernya' piala, medali, dan berbagai bukti kejayaan AC Milan dan Inter Milan. Foto-foto pemain andalan dari jaman ke jaman juga dipajang disana. Untuk orang awam yang nggak tau ngalor-ngidul tentang bola, saya ikut-ikut saja kemanapun mbak guide yang antusias itu memandu saya.

Udah tau dong, perihal mahalnya kaos bola disana. Saya pernah ngepos di postingan beberapa waktu yang lalu. Dek Bryan yang pengen dibelikan kaos bola harus bersabar hati. Mudah-mudahan saja suatu saat nanti ada kesempatan kesana lagi.

Yup. Itu dia sedikit perjalanan di San Siro. Selepas dari sana, berhubung badan udah pegel-pegel menyandang tas ransel yang lumayan aduhai, saya dan rombongan check in dulu. Hotel yang kami tempati termasuk murah. Dengan fasilitas kamar yang nyaman dan lebar, kami cukup membayar sekitar 15 euro permalem, perorang. Saya sekamar dengan salah satu temen, dengan bed gede yang cukup puas buat berdua. Jauh jauh jauh lebih nyaman dibandingkan hotel 22 euro permalem di Paris, dimana 5 cewe ditaruh berdesakan di dalem kamar berukuran sekitar 4 x 6 meter. Setelah naruh barang, sholat, cuci muka, duduk sebentar, kami lalu berangkat melanjutkan petualangan lagi.

Satu lagi tempat yang remarkable selama kunjungan di Milan adalah di Duomo. Berkesan karena disana banyak burung merpatinya! Berhati-hatilah kalian, karena banyak warga Milan yang memeras pengunjung-pengunjung bego seperti saya. Awalnya ada mas-mas ngasih jagung gratis buat ngasih makan burung. Eeeh, trus tangan saya dipegangin kenceng, nggak dilepas-lepas. Saya udah berkali-kali bilang cukup, tapi si mas yang pura-pura nggak mau tau itu terus aja menghujani tangan saya dengan jagung-jagung. Lalu berdatanganlah burung-burung merpati, mematok-matok telapak tangan saya! Pengen saya berteriak toloong lalu menyobek-nyobek baju saya, eh nggak, itu adegan pura-pura mau diperkosa. Pengen rasanya berteriak tolong lalu melempar jagung-jagung itu ke muka si mas-yang-tadinya-purapura-baik-ngasih-jagung itu. Namun jadinya saya malah tetep berdiri dengan tangan kiri terangkat (dipegang kenceng dan diangkat paksa sama si mas), penuh jagung kering di telapak tangan saya. Lalu burung-burung merpati itu berkerumun mematok-matok tangan saya. Pak polisi cakep, selamatkan saya.. Ujung-ujungnya, saya disuruh bayar 10 euro! Buat bayar jagung! Amigos!

Bukti cakaran burung merpati.
Orang ini nggak bego, karena berhasil ngasih makan burung merpati (pake roti) tanpa harus kena peras seperti saya.

Hell, yeah. Kembali ke Duomo. Duomo ini pada hakikatnya adalah sebuah gereja di Milan. Kata wikipedia, ini adalah gereja terbesar keempat di dunia. Bagi saya yang merupakan penyuka bangunan-bangunan tua nan artistik, saya betah sekali duduk berlama-lama memandangi bangunan-bangunan tua disini sambil mengamati orang lalu-lalang (tentu saja terlepas dari merpati dan mas-mas-nggak-tau-diri-itu).

Oiya, Kyuhyun Super Junior juga udah pernah ke Duomo loh. Ini foto yang saya ambil dari akun twitternya.


Tapi masih bagusan foto lompat saya dong.



Di samping Duomo ini ada mall pertama di dunia. Dibangun pada tahun 1861. Bangunannya artistik, dengan langit-langit yang cantik. Yang bikin menarik dari mall ini adalah karena nama-nama brand ternama disini dituliskan dengan background hitam dan tulisan keemasan. Bahkan Mc.D pun bukan berlatar merah dan bertuliskan m warna kuning.



Mc. D di mall samping Duomo.

Kebetulan waktu itu udah hampir jam 6 sore, sebagian toko udah pada tutup. Wah, padahal saya mau belanja. Kekekekek (buru-buru inget utang)

Berhubung beberapa toko udah pada tutup, sore itu saya habiskan dengan foto-foto dan duduk menikmati pemandangan kota Milan dengan saksama. Merasakan semilirnya angin musim panas yang berhembus. Nggak lupa juga beli gelato (bahasa Italianya es krim) khas Italia. Aaah. Semoga nanti bisa kembali menikmati pemandangan indah ini lagi.





Sunday, September 11, 2011

Kyuhyun's Diary

Thanks to those who contributed to this dairy. This is the diary of the last member of Super Junior, Cho Kyuhyun. The last date written in this diary is until the second super show of the Super Junior.



Korean Version of Thanksgiving


Istilah thanksgiving mungkin rada nggak familiar di telinga kita. Bener sekali, di negara kita nggak ada perayaan semacem itu. Buat apa merayakannya setahun sekali? Bukannya setiap hari adalah hari untuk bersyukur dan senantiasa berbagi kepada sesama? Ehe. Pemikiran itu juga ada di pikiran saya. Melihat bagaimana warga negara lain merayakan thanksgiving dan sejenisnya, ternyata banyak sekali serunya loh. Seru banget bisa meluangkan waktu sehari buat melakukan berbagai kegiatan bersama keluarga, dan pada saat itu, nggak cuman keluarga kita saja yang berbahagia berkumpul bersama, tetapi juga semua keluarga di segala penjuru negara kita. Seperti merayakan bersama seluruh warga negara.

Perayaan thanksgiving di beberapa negara ternyata nggak serentak. Misalnya, orang-orang di Canada merayakan setiap hari Senin kedua di bulan Oktober. Sementara orang-orang di United States merayakan setiap hari Kamis keempat di bulan November. Berbeda lagi di Germany, dan beda juga di beberapa negara lainnya. Seperti Korea, mereka punya hari khusus buat merayakan acara semacem thanksgiving.

Nah, beberapa tweet terakhir dari beberapa idola Korea yang saya follow di twitter nge-tweet seputar Chuseok. Seperti Lee Min Ho yang mengucapkan selamat Chuseok bagi seluruh fans-nya di Korea. Lalu beberapa anggota Super Junior yang juga menyatakan akhir dari kegiatannya di hari ini, lalu bersiap berlibur besok untuk merayakan Chuseok. Apa sih sebenernya Chuseok? (saya mau SOK berbagi info nih).

Chuseok adalah salah satu dari empat hari libur besar yang dirayakan di Korea. Biasanya dirayakan setiap hari ke-15 di bulan ke-8 berdasarkan penanggalan bulan. Nggak heran deh, kalau lihat sang idola di tivi-tivi Korea tengah mengenakan hanbok, pakaian tradisional Korea Selatan, di hari Chuseok ini. Seperti yang dikenakan Super Junior.

Ini pas Chuseok beberapa tahun lalu. Saya pilih ini, soalnya mereka pas lengkap (tapi tetep kurang, nggak ada Kibum). Lebih lengkap dibandingkan Chuseok tahun ini, nggak ada Kangin, Hangeng, Heechul, bahkan Siwon sibuk dengan drama barunya.
Korean Chuseok biasa diartikan seperti perayaan thanksgiving, karena pada saat itu semua keluarga besar berkumpul untuk berbagi makanan (kalau dulu berbagi hasil panen) dan melakukan 'syukuran' bersama-sama. Apa saja yang mereka lakukan?

Pagi-pagi di hari Chuseok, masyarakat Korea menghidangkan Korean rice cake yang namanya Songpyeon dan beberpa makanan kepada para leluhur. Biasanya makanan-makanan diletakkan di sebuah meja besar dan ada semacem acara penghormatan dan persembahan yang namanya Charye. Seluruh anggota keluarga bersama-sama mendoakan para leluhur dan berterima kasih atas semua kebaikan yang telah mereka terima selama setahun ini.

Songpyeon, kue yang terbuat dari beras. Looks yummy! :D

Makanan yang disajikan di acara Charye.

Setelah Charye, biasanya masyarakat Korea mengunjungi makam para leluhur mereka. Mereka melakukan kegiatan yang namanya Bulcho, yakni membersihkan makam dari rumput dan semak yang mengganggu. Beberapa makanan juga dipersembahkan ke makam leluhur mereka. Nah, bagi para warga yang usil, ini adalah kesempatan banget bukan? Kesempatan untuk ngembat makanan gratisan di sana-sini. Kekekekek.

Setelah kegiatan-kegiatan tersebut selesai, masyarakat Korea biasanya bermain bersama keluarga mereka. Bermain go-stop, atau permainan-permainan keluarga lainnya. Atau bisa juga mengunjungi tempat-tempat umum untuk menonton beberapa permainan dan tarian tradisional.

Salah satu tarian yang dipentaskan di hari Chuseok adalah tari Ganggangsullae, dimana beberapa perempuan mengenakan hanbok, lalu menari dan menyanyi bersama. 

Beberapa perempuan mementaskan Ganggangsullae di hari Chuseok.
Wah jadi pengen menyaksikan dan ikut merayakan Chuseok di Korea. Biasanya sehari sebelum sampai sehari setelah Chuseok dijadikan sebagai hari libur nasional. Sebagian besar toko juga tutup, mengingat semua warganya pengen berkumpul bersama keluarga. Orang-orang Korea yang berada di luar Korea kemungkinan besar juga pulang ke kampung halaman mereka lho. Waah, pasti sekarang di Korea lagi rame banget ya!

Well, happy Chuseok for all Korean citizen! ^__^


Tuesday, September 6, 2011

Masalah Korting

Biasanya nih, musim panas di Eropa adalah waktu yang tepat buat berbelanja. Summer sale! Yeah. Kalo pinter-pinter milih, bisa dapet barang berkualitas bagus dengan harga yang super miring (baca: murah). Sekarang, anggep aja summer sale juga ada di negara kita, Indonesia. Umm, diskon lebaran aja kali ya. :D



Salah satu toko sepatu menawarkan dua jenis potongan harga. Pembeli bisa memilih potongan harga mana yang menurut mereka lebih menguntungkan.
A: Diskon 50% untuk semua sepatu dan sendal
B: Untuk pembelian 2 pasang sepatu, membayar senilai harga satu sepatu saja (sepatu dengan harga yang lebih mahal), lalu sepatu kedua cukup bayar 10.000 rupiah saja (untuk berapapun harga sepatu).

Kalau Anda pembelinya nih, mau pilih diskon yang A atau B? Alasannya?

Monday, September 5, 2011

Book Fest

Waah semalem saya produktif banget di blog. Ngepos tiga postingan, lalu pagi ini udah mau cerita lagi. Sebenernya banyak sekali hal-hal yang pengen saya tuliskan sebelum nanti saya lupa. Saya masih hutang cerita liburan di Italy juga lho. Satu-persatu deh. (emang ada yang baca?) kekekekek.

Mulai hari Kamis, 1 September kemarin sampai hari Minggu, 4 September, di Utrecht ada festival buku. Disini buku-buku baru dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga normal. Misalnya harga buku keluaran National Geography tentang flora dan fauna yang normalnya dijual seharga 30-an US dollar, di book fest dijual sekitar 7 euro saja.


So, dari beberapa hari sebelum book fest saya sudah berencana banget mau dateng kesana dan membeli buku apa saja. Sangking niatnya, saya merencanakan dateng pagi-pagi di hari pertama book fest digelar, dengan harapan bahwa buku-buku yang bagus belum keburu diserbu orang. Hihihi.

Rencana awal, buku-buku yang mau dibeli adalah buku-buku matematika, buku-buku pendidikan, beberapa novel, dan satu atau dua buku-buku lain yang menarik.

Eh, sesampainya disana, yang jadi dibeli adalah: satu buku pendidikan, buku pengetahuan tentang matematika (misalnya asal usul bilangan, sejarah pengukuran, padahal niatnya pengen beli buku sebangsa kalkulus, aljabar, analisis, gitu-gitu deh), beberapa novel tetep dibeli, beberapa buku dari National Geography, lalu sisanya didominasi buku-buku dan mainan anak-anak, seperti buku cerita bergambar, buku mewarnai, buku mengenal angka dan bilangan, satu atau dua komik nggak berseri, beberapa mainan, serta beberapa sticker kertas dan dinding. Ngelihat buku-buku anak yang lucu, saya langsung inget keponakan dan beberapa sepupu kecil.

Agak kecewa juga sih, buku-buku pendidikan dan buku matematikanya sedikit banget. Padahal pengen nyari beberapa buku untuk bahan research dan buku-buku matematika buat pegangan nanti, siapa tau disuruh ngajar. :D

Kapan ya, ada book fest yang menjual banyak buku pendidikan dan matematika?

Sunday, September 4, 2011

Cerita Summer School

Mulai pertengahan Agustus kemarin, saya ikut Summer School di kampus. Lumayan, bisa ikut gratisan. Ngirit 980 euro looh.

Awal mulanya gini, katanya program SS di kampus baru bisa dibuka kalo ada minimal 5 peserta. Waktu itu (ini ceritanya ketua program), baru ada 4 peserta yang mendaftar, 2 dari Spanyol, 1 dari UK, 1 dari Afrika Selatan. Lalu untuk memenuhi jumlah peserta minimal, saya dan 8 temen se-geng (teteup) diikutsertakan di kegiatan SS. Administrasi udah diurus, eee tiba-tiba ada satu lagi pendaftar dari Rusia. Sebenernya cukup deh 5 peserta. Tapi berhubung kami udah didaftarkan duluan, nggak bisa semudah itu dibuang dong. Hihihi.

4 peserta yang mendaftar duluan udah kawakan banget. Mereka udah berpengalaman di pendidikan matematika. Salah satu yang dari Afrika Selatan adalah pemilik web ini. Banyak deh, bahan-bahan matematika SMA yang dishare di webnya itu.

Pendaftar yang terakhir adalah cewe Rusia. Tepatnya dari Saint Petersburg. Dia baru saja lulus satu bulan yang lalu dari program kuliah 5 tahun di kampusnya. 5 tahun ya. Jadi ceritanya, sistem pendidikan tinggi di Rusia itu ada beberapa jenis. Seperti di negara kita, begitu tamat SMA, kita bisa memilih mau nerusin ke program D1, D2, D3 (technical school), atau S1 (university college). Rata-rata program S1 di tempat kita ditempuh 4 tahun. Di Rusia juga ada, program universitas yang waktu tempuh normalnya 4 tahun. Tapi ada juga yang 5 tahun. Nah, program khusus yang 5 tahun itu ada untungnya. Para mahasiswa lulusan program tersebut bisa nerusin kuliah Ph.D atau doctoral langsung, nggak melalui program master. Asyik ya. Katanya, kalo untuk kualitas, lulusan program khusus itu relatif lebih baik daripada lulusan bachelor (S1), namun relatif kurang berpengalaman dibandingkan lulusan master (S2).

Selama 2 minggu di SS, saya ikut perkuliahan tiap Senin sampe Jumat dari jam 9 pagi sampe jam 5 sore. Kebayang dong capek dan ngantuknya. Mana kemaren pas banget puasa. Rata-rata tidur malem cuman 5 -6 jam. Saya biasanya tidur jam 12 malem, setelah sholat Isya dilanjutkan Tarawih, lalu bangun jam 4 pagi untuk sahur. Jam 5 pagi tidur lagi setelah sholat Subuh. Bangun jam 7 (atau jam 8 deh paling telat, hihihi), bersiap ke kampus. Gitu terus. Alhasil, mulai jam 2 siang saya ngikutin perkuliahan sambil menidurkan diri dengan menggambar bebas di kelas.

Nggak cuman ngikutin acara perkuliahan di kampus juga. Hari Sabtu, 20 Agustus, saya dan beberapa temen SS ikut acara liburan bersama. Beramai-ramai dengan peserta SS dari program studi lain, kami menuju ke pabrik pembuatan keju yang terkenal di deket sini. Namanya pabrik Boerenkaas. Disana kami dikasih tau cara membuat keju dan juga berpartisipasi membuat keju sebentar.

Membuat keju di Boerenkaas

Ternyata, dari susu sapi murni, hanya sekitar 7 - 10 % saja yang dipake untuk membuat keju. Setelah dicampurkan semacem enzim yang ada di dalem perut anak sapi ke dalem susu sapi murni, didiamkan sebentar, 10 - 20 menit kemudian susu murni terbagi menjadi 2 bagian. Ada bagian yang mengental, ada yang tetep cair. Bagian yang mengental itu diambil, sementara sisa air susu sapinya disisihkan. Yak, air itu adalah susu rendah lemak yang biasanya dijual di minimarket-minimarket terdekat. Bagian yang mengental itu lalu ditiriskan, supaya kadar airnya berkurang. Lalu blablablablabla.. (sebagian males menuliskan, sebagian nggak tau lagi, lupa). Abis dari pabrik keju, kami menuju Kinderlijk, yang merupakan wilayah dengan beberapa kincir angin tua yang masih terlihat alami. Bagus deh.

Windmill di Kinderlijk

Sebernernya ada juga acara jalan-jalan di hari Minggunya. Tapi karena mau menyahur sleep deficiency yang akut waktu itu, saya memutuskan untuk tidur satu hari di rumah, sebelum akhirnya melanjutkan sisa 5 hari SS di kampus.

Yang paling nggak enak di acara SS adalah waktu perpisahan. Dimana-mana, saya nggak suka banget acara pisah-pisahan. Kalo bisa, say "Goodbye" "See you again soon!", salaman, udah. Nggak perlu basa-basi deh. Malah bikin berkaca-kaca jadinya. Nanti-nanti kan masih bisa komunikasi lewat email atau facebook.

Yang bikin terharu adalah saat salaman dengan salah satu peserta dari Spanyol, sebenernya aslinya dari Venezuela. Ibu itu adalah satu-satunya yang paling aktif di kelas. Panggil saja Carola. Tiap kali dosen narasumber mengucapkan 5 kalimat, Carola pasti akan membalas dengan 7 kalimat yang lebih panjang. Agak sebel juga sih, di kelas ndengerin suara itu terus. Apalagi tiap kali ngomong, Carola terlihat begitu ekspresif (baca: lebay). Gesturesnya, intonasi suaranya, ekspresi matanya, semuanya. Tapi ada untungnya juga, saat sang dosen terpaku memperhatikan suaranya, saya bisa menguap dengan nyaman. Hihihi.

Mengapa saya terharu saat salaman dengan Sang Ibu dari Venezuela itu?

Jadi ceritanya gini, beberapa hari menjelang akhir SS, saat foto-foto bareng, saya rada kaget waktu Carola bilang mau foto deket saya. Dia bilang, saya mengingatkannya pada anak bungsunya yang perempuan. Heh? Masa' iya? Anak perempuannya bermuka tropis kayak saya? Berjilbab? Pendek? (hahaha). Lalu saat foto, Carola beneran merangkul saya dari belakang. Meskipun hasilnya terlihat seperti mencekik (ketimbang merangkul), saya cukup terharu dibuatnya. Ah, mungkin dia sedang kangen sama anak-anaknya saja.

Lalu tibalah saat salam-salaman di sore terakhir itu. Biasa saja, waktu Carola menyalami ke-8 temen-temen saya, sekedar bersalaman, cipika-cipiki, ngucapin "See ya!", senyum, udah. Eh saya pake acara dipeluk dan dinasehatin juga. Semoga sukses dengan assessment-nya, begitu salah satu kalimat yang saya inget. Mata saya langsung berkaca-kaca. Oh man, saya benci bagian ini. Setelah terlepas dari pelukannya (ciyeh), menyalami peserta lainnya, saya keluar sebentar dari ruangan. Menumpahkan air mata. Gyaaaa.

Saat mengusap air mata, saat itu si agan Fajar dan Eka ngelihat saya yang sempet mewek, saya inget pernah ngatain Carola lebay. Ah, seandainya saya tahu kalo dia seperhatian ini. Nyesel pernah ngatain lebay. Maaf ya Carola. Mumpung masih lebaran nih, minal aidin walfaidzin yaaa. Hihihi.

Ini bukan foto yang kelihatan kecekik itu yaa.. hihihi

Aaah. Pengalaman yang menyenangkan. Nggak cuman dapet ilmu, tapi juga dapet kenalan baru. I already miss them all. Sampe ketemu lagi yaaa temen-temen baru.

Blog Saya Dulu

Dulu itu relatif ya. Setahun yang lalu itu dulu. Sepuluh tahun yang lalu juga dulu. Bahkan, seminggu yang lalu sewaktu dia berpaling memilihnya, itu juga cerita dulu (tsah, yang belakangan ngarang banget).

Saya dulu pernah punya blog. Sebelum akhirnya melupakan email mana yang dipake dan juga password apa yang menemani. Inilah blog saya yang dulu. Monggo di-klik dan singgah sebentar. 

Postingan terakhir tanggal 5 April 2010. Itu berarti sekitar 5 bulan sebelum postingan pertama di blog ini. 5 bulan saja saya sudah melupakan email dan passwordnya!! Ya'oloh. 

Kalo dipikir-pikir, ngeblog itu ada juga untungnya ya. Saat pengen menggalau membayangkan beberapa hal yang pernah terjadi dulu, tinggal klik aja postingan-postingan di bulan dan tahun berapa. Seperti yang barusan saya alami. Saat membuka blog saya yang dulu itu, membaca postingannya satu persatu, gambaran-gambaran cerita dulu kembali terlintas di pikiran saya. Terasa seperti masih baru. (ciyeh).

Tapi terkadang beberapa postingan yang dipost saat sedang labil dulu, membuat saya malu untuk sekedar membacanya kembali. Terlebih jika ditemukan orang lain. Rasanya seperti saat menemukan diary jaman SMP dulu yang sedang disentuh Ibu. Saya nggak yakin sih, Ibu beneran udah membaca isinya atau belum, tapi perasaan saya mengatakan Ibu udah baca. Maluuu sekali. 

Mungkin banyak juga orang yang kurang sependapat. Kurang kerjaan banget orang-orang yang menuliskan cerita sehari-harinya di blog. Giliran nyeritain cerita yang menarik, dibilang sombong. Giliran nyeritain cerita-cerita galau, dibilang lebay. Pengennya blog itu diisi sama postingan-postingan yang bersifat menambah ilmu pengetahuan. Tapi mau gimana lagi, ilmu saya masih cetek. Hihihi.

Anda yang mana? Sejauh ini saya masih nggak ngerasa sombong atau lebay. Saya masih fine-fine saja. Hihihi. Ayo ngeblog!

Belajar Latex

Udah basi ya, setua ini saya baru kenalan sama Latex. Iseng-iseng berhadiah, saya nginstall TexMaker, lalu ngoprek software itu sendiri. Terlalu males mencari tutorial online-nya.

Mungkin karena sombong atau emang karena bego, akhirnya setelah beberapa jam (sejam lebih dikit tepatnya) pantat saya mulai panas. Bukan karena kelamaan duduk, soalnya sebelumnya saya juga udah terbiasa lama-lama duduk di depan leptop, tapi karena nggak berhasil juga mengeksplor TexMaker sendiri. Bersyukur saya punya salah satu contoh file .tex yang siap dicontek.

Ternyata di awal penulisan ada semacem introduksinya dulu. Misalnya kita mau membuat dokumen, ada garis miring kebalik yang mengawali. Semacem ini \begin{document}. Lalu di akhir juga diakhiri dengan perintah bergaris miring kebalik, semacem ini \end{document}.

Uniknya disini, semua text dituliskan linear. Kalo di Word Document, misalnya mau buat uppercase, contohnya x pangkat 2 (tau tulisan x pangkat 2 ya), x dan 2 tidak terletak segaris. Yah, kayak nulis di blog ini, susah banget mau nulis yang nggak linear.

Saya penasaran, apakah text yang dibuat di Latex, yang kalo misalnya di-compile hasilnya adalah persamaan di matematika, juga muncul persamaan matematika kalo di copas di blog. Kalo iya kan lumayan, nanti-nanti kalo mau nulis persamaan matematika di blog bisa pake bahasa Latex.

\begin{document}
$x^{2}+y^{2}=z^{2}$
\end{document}


Hasilnya gimana yaaa..

Friday, September 2, 2011

Maksuba

Masih suasana lebaran kan? Minal aidin walfaidzin sekali lagi.

Setiap kali chatting di facebook, selalu ada salah satu temen yang nanyain lagi dimana dan gimana suasana lebaran disini. Begini salah satunya.
T = Temen
S = Saya

T: Assalamualaikum Mbak Sep
S: Wa'alaikumussalam.. Minal aidin walfaidzin yaa..
T: Sama2 Mbak.. Mohon maaf lahir dan batin juga.. Lagi dimana Mbak?
S: Biasa, masih disini aja (yang diajak chatting sebenernya udah tau posisi saya dimana)
T: Oh, di Belanda ya? Nggak mudik Mbak?
S: Iya.. Wah, nggak punya ongkos nih.. Hihihi.. Mau ngongkosin apa?
T: Hehe.. Gimana suasana lebaran disana Mbak?
S: Sepi, kayak nggak lebaran.. Abis sholat Ied, salam-salaman, langsung pulang..
T: Buat ketupat nggak Mbak?
S: Waah nyari ketupat disini susah.. Mbak bikin lontong aja..
T: Pempek Mbak? Disini banyak pempek lho..
S: Ngileeeer..
T: Makanya mudik Mbak..
S: Ongkosin yaa..
....

Atau tau-tau nyapa begini:
T: Waah enak ya lebaran di Belanda..
S: *cengok* [belum tau aja dia, gimana menderitanya saya lebaran disini]
....

Saya juga pengen mudik. Banget. Saya juga pengen makan ketupat. Makan pempek. Makan maksuba. Kangen banget makan maksuba. Maksuba yang biasanya cuman ditemuin di hari raya. Maksuba dingin yang baru saja diambil dari kulkas. Manis. Adem. Dimakan pas cuaca panas, mak nyess. (beneran ngiler).


Lebaran kali ini, saya hanya bisa menikmati maksuba (yang warnanya kekuning-kuningan) dari foto. Thanks to Nyai, temen saya yang baik hati yang mau memotretkan maksuba yang saya rindukan ini. Di sebelah maksuba itu adalah engkak, juga makanan khas Palembang.

Siapa lagi yang mau ngirimin saya maksuba?